Laporan Wartawan Surya, Rorry Nurwawati
SURYA.CO.ID, SURABAYA - Lokalisasi Dolly dan Jarak di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, telah ditutup Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada 2014.
Meski telah mengubah dirinya, masih tersimpan kisah-kisah suram penghuni di bekas lokalisasi terbesar di Asia Tenggara yang tak akan pernah dilupakan, terutama para muncikarinya.
Berpenampilan tertutup, dengan riasan tipis, rambut pendek bercat cokelat, Sunarti bersama lima orang lainnya sedang membuat pola batik di atas kain mori putih dan cokelat di Rumah Batik Canting Surya di Putat Jaya Barat, Surabaya, Rabu (14/9/2016).
Baca: Cerita Camat Bergerilya Cari PSK di Bekas Lokalisasi Dolly
Perempuan 53 tahun ini blak-blakan menuturkan kisah hidupnya kepada Surya, sebelum akhirnya memutuskan menjadi pembatik dan meninggalkan dunia hitamnya.
Sekitar 16 tahun silam ia bersama suaminya membuka tempat karaoke 'Wisma 34" di daerah Putat Jaya. Ia sekaligus muncikari dengan empat wanita pemandu tamu dan enam pekerja seks komersial.
Dari usaha yang dijalaninya, dalam sehari Sunarti bisa mengantongi sedikitnya Rp 10 juta. Uang itu diperoleh dari pelanggan karaoke, serta setoran para PSK dan pemandu tamu.
Hidupnya kala itu bergelimang uang. Namun, Sunarti merasakan ada kegundahan, mengingat uang yang diperoleh hasil dari barang haram.
"Kalau dulu banyak tetapi panas, sekarang alhamdulillah berapapun dapatnya halal," Sunarti melempar senyum dan tak melepaskan canting dari tangannya.
Bisnis karaoke saat itu rupanya bukan bisnis awal Sunarti di Surabaya. Perempuan asal Tulungagung itu meneruskan bisnis ibu mertuanya. Ia bertemu Kustiono, suaminya, warga Putat, Surabaya.
Lingkunganlah yang membuat Sunarti memilih meneruskan bisnis keluarga suaminya. "Sebelum saya di sana, banyak juga sudah berbisnis seperti itu," terang dia.
Ia mengaku tak pernah merekrut pemandu lagu maupun PSK. Ia sudah cukup menjadi muncikari dan menjalankan bisnis karaoke saja.
Selama ini Sunarti tak pernah mencari para perempuan penghibur untuk tempat karaokenya.
"Saya enggak pernah mencari, mereka datang sendiri. Kebanyakan minta kerja. Saya mana bisa cari mbak-mbak sampai luar kota," ia menerangkan.
Semua anak buah Sunarti bukan dari Surabaya, kebanyakan para pendatang dari Lamongan, Banyuwangi, dan Malang. Para wanita penghibur ini berstatus janda yang terhimpit biaya ekonomi.
"Saya enggak mau kalau mereka bersuami, makanya saya tanya dulu. Kebanyakan umurnya 25 sampai 35 tahun," kata Sunarti.
Sempat Bingung
Sambil menerawang, Sunarti menceritakan rasa takutnya saat kawasan lokalisasi akan ditutup Pemkot Surabaya pada 2014 silam.
Ia bukan main kebingungan karena tidak mempunyai uang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sesekali ia terdiam sembari berpikir mengenang masa lalunya penuh harta.
"Takut enggak bisa makan, anak saya mau dikasih makan apa, suami cuma kerja satpam waktu itu. Jujur saya takut kelaparan," katanya lirih.
Gang Dolly dan kawasan lokalisasi lainnya yang telah berdiri sejak 1970 memang memberikan penghasilan ekonomi bagi warga sekitar. Tak heran Sunarti seakan takut kehilangan.
"Waktu ditutup saya beberapa hari kebingungan mau kerja apa. Bingung mau bagaimana, dan alhamdulillah memang benar rezeki itu sudah ada jalannya masing-masing," kata dia.
Sekarang ibu satu anak ini bisa tersenyum lebar. Senyum Sunarti membuktikan ia dan keluarganya mampu hidup tanpa membuka bisnis esek-esek.
Sejak ditutup, ia memutuskan ikut kursus membatik yang disediakan Pemkot Surabaya untuk para muncikari dan PSK.
"Dari situ saya bisa kembangkan seperti ini. Saya ikut pameran di mana-mana, dan bangga bisa keluar dari bisnis itu," kata dia bangga.
Keputusan Pemkot Surabaya menutup lokalisasi yang banyak didatangi wisatawan kala itu kini baru disadari Sunarti yang kini tengah membangun warung gado-gado.
"Masih renovasi rumah, sambil nunggu selesai saya tetap membatik. Dengan membatik, saya bisa menghasilkan uang yang halal tidak seperti dulu, uangnya panas," tawa Sunarti lepas.