TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Gemu Fa Mi Re, lagu dan tarian yang berasal dari Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur, dipilih menjadi tarian pembuka acara 'Gebrak Yogyakarta : Langenastran Batik dan Batok Night' pada Sabtu 15 Oktober 2016.
Pemilihan itu bukan tanpa alasan tetapi justru ingin menunjukkan bahwa kegiatan bulanan 'Langenastran sebagai Kampung Wisata Budaya' adalah juga milik semua suku yang tinggal di wilayah Yogyakarta.
Sehingga dengan cara ini ingin ditunjukkan pula kerukunan suku di Indonesia akan dimulai dari Yogyakarta.
Demikian dijelaskan Ketua Panitia 'Gebrak Yogyakarta: Batik & Batok Night', Ir KRT Radya Wisraya Sumartoyo dan Ketua Humas DR Y Sri Susilo SE MSi, Jumat (30/9).
Melalui rilis yang masuk ke redaksi Tribunnews.com, 'Batik & Batok Night' merupakan kegiatan pertama dari acara bulanan menyusul deklarasi Langenastran Sebagai Kampung Wisata Budaya Yogyakarta oleh sesepuh masyarakat setempat pada awal bulan September 2016.
“Lagu ciptaan Nyong Franco itu memang dipilih karena yang sedang ngetren di mana-mana. Dengan ini, setiap bulannya kami ingin mengajak suku-suku yang ada di Indonesia untuk menari bersama kami di Langenastran melalui tarian mereka."
"Bisa dibayangkan jika yang kami lakukan diikuti seluruh kampung di Yogyakarta dan melakukan hal yang sama dengan menampilkan tarian dari salah satu suku atau daerah luar Yogyakarta, tentu Yogyakarta akan menciptakan aura positif untuk kerukunan secara nyata,” ujar Sri Susilo.
Adalah Sanggar Seni Kinanti Sekar Yogyakarta, yang ditunjuk oleh panitia untuk memimpin tarian masal ini.
Diharapkan banyak pengunjung 'Langenastran Batik & Batok Night' juga mau bersama-sama menari masal bersama mereka.
Sanggar yang dipimpin oleh Kinanti Sekar Rahina ini didirikan tahun 2015 merupakan ruang belajar kesenian bagi semua kalangan.
Proses belajarnya memperhatikan dua nilai: kebebasan ekspresi dan bersahabat dengan alam. Metode yang digunakan adalah inkuiri dan kontekstual, dimana siswa bisa berpartisipasi dalam proses belajar dan dekat dengan lingkungan sekitar.
“Kami berharap akan banyak kelompok tari atau kesenian yang akan terlibat dalam kegiatan bulanan Langenastran sebagai Kampung Wisata Budaya. "
"Tidak muluk-muluk yang kami lakukan. Ini semua berasal dari masyarakat dengan tujuan mulia memelihara nilai-nilai budaya luhur dimana kita berada."
"Hanya dengan cara seperti ini, banyak sanggar di Yogyakarta dapat tampil dan dikenal oleh publik luas,” ujar Susilo dosen Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Yogya itu.
Sejak 2015, Sanggar Seni Kinanti Sekar Yogyakarta yang dimanajeri Bagas Arga Santosa telah melakukan berbagi pertunjukan termasuk, 'Nitipraja' Panggung Masa Depan, Festival Kesenian Yogyakarta 2016 di Tebing Breksi, Sambirejo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta.
Workshop tari dan olah tubuh, Panggung Pasar Seni FKY 2016, Taman Kuliner Condongcatur, Yogyakarta.
Malioboro Night Festival 2016, Monumen Serangan Oemoem 1 Maret, Kolaborasi dengan Komunitas Bumi Srawung di panggung Festival Teater Jogja 2016, Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.
Jelajah Pasar Rakyat Nusantara, kolaborasi dengan perwakilan pedangan pasar se-Jogja, Plaza Ngasem, Yogyakarta.
Jogja Japan Week 2015, Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta, 'Air Mata Khunti' pada acara ASIA TRI 2015 (Jogja) di Omah Petroek, Karang Klethak, Yogyakarta dan acara Festival Lima Gunung XIV, 2015 di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang.
'Nitipraja' pada acara Jogjakarta International Street Performance 2015 di depan halaman Gedung Agung, Yogyakarta.
'Laung Shri' pada acara Festival Lima Gunung XIV, 2015 di Dusun Mantran Wetan, dan terakhir mereka tampil di 'Asia Tri Jogja 2016' di Pendhapa Art Space, Sewon Bantul Yogyakarta pada akhir September ini.
Sementara itu, Ir KRT Radya Wisraya Sumartoyo menegaskan bahwa deklarasi 'Langenastran Sebagai Kampung Wisata Budaya' Yogyakarta merupakan inisiatif masyarakat Kampung Langenastran yang terdiri dari Langenastran Lor, Langenastran Kidul, Langenarjan Lor, Langenarjan Kidul dan Langensuryo.
Langenastran merupakan jalur utama di dalam beteng Kraton Yogyakarta (jeron beteng) menuju ke destinasi utama wisata dalam beteng yaitu wisata kayuh (odong-odong) dan misteri beringin kembar yang terletak di Alun-alun Selatan, Yogyakarta.
“Kami tidak muluk-muluk dalam membangkitkan ekonomi kreatif masyarakat melalui giat wisata. Komitmen kami adalah setiap bulan ada kegiatan wisata budaya di Kampung Langenastran ini. Beberapa pihak telah menghubungi untuk mencari tahu konsep tentang menghidupkan wisata Kampung."
"Dan dalam waktu ke depan, akan ada banyak kerjasama yang akan dilakukan antar kampung wilayah jeron beteng, luar beteng dan luar Yogyakarta. Kemarin telah hadir peninjau persiapan dari Balikpapan, Kalimantan Timur untuk mencari tahu tentang konsep Kampung Wisata Budaya Langenastran,” ujar Sumartoyo.
Menurut Sumartoyo, masyarakat Langenastran ingin memulai menghidupkan kembali warisan budaya para leluhur dan potensi ekonomi kreatif yang ada di kampungnya.
Memasukan budaya dari daerah lain merupakan misi mulia lain dari menggalang kerukunan antar kampung, suku, daerah dll.
“Demi Indonesia Satu Tak Terbagi merupakan tujuan akhir dari kegiatan bulanan yang diadakan di Kampung Langenastran."
"Alasannya adalah, suku Jawa ada di seluruh Indonesia dan berharap bahwa mereka akan menjadi duta-duta kerukunan dan perdamaian Indonesia di mana saja mereka berada."
"Caranya melalui revitalisasi budaya-budaya setempat, memelihara serta menjaga warisan budaya leluhur di mana mereka berada, sebagaimana kami memulai dengan tarian Gemu Fa Mi Re. Yogyakarta adalah tanah tumpah kedua semua suku yang belajar di kota ini,” ujarnya.
Langenastran dideklarasikan sebagai Kampung Wisata Budaya bersamaan dengan peresmian Omah Media Avocado (media corner) yang juga terletak di Jalan Langenastran Lor, Yogyakarta pada 3 September 2016.
Pendeklarasian itu ditandai dengan pemotongan tumpeng oleh Mantan Wakasad Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakari yang diberikan kepada salah satu undangan dari Ketapang, Kalimantan Barat. (*)