Laporan wartawan Surya, Galih Lintartika
TRIBUNNEWS.COM, PROBOLINGGO - Banyak alasan yang dipegang teguh para pengikut Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Dusun Sumber Cengkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Probolinggo, Jawa Timur untuk tetap bertahan dan enggan balik ke kampung halaman.
Seperti halnya, yang dilakukan para pengikut Taat Pribadi asal Bali ini.
Jumlah pengikut asal Bali yang masih bertahan di padepokan berkisar antara 50 - 100 orang.
Mereka bergerombol jadi satu, meski antar pengikut tidak saling mengenal. Tenda mereka berdekatan.
Total, ada tiga sampai empat tenda yang diisi oleh pengikut asal Bali dan sekitarnya. Namun, laporan terakhir, dua tenda milik pengikut asal Bali ini sedang direnovasi atapnya termasuk terpalnya.
Mereka terpaksa mengungsi ke tenda pengikut lainnya.
Aktivitas mereka tidak ada yang berubah sedikit pun. Mereka tetap salat berjamaah, istighosah, dan dzikir bersama di masjid yang ada di padepokan.
Ada sedikit perubahan, dalam hal makan. Selama ini, mereka menggantungkan makan sehari – hari itu ke padepokan, karena memang ada jatah makan.
Namun, saat ini mereka lebih inisiatif dengan membuat dapur dan masak sendiri.
YN, warga Sesetan, Denpasar Selatan, Bali mengaku, sekarang lebih memilih memasak sendiri.
Ia tidak menggantungkan makan terhadap padepokan. Setiap pagi, ia berjalan kaki ke Pasar Wangkal yang jaraknya kurang lebih dua kilometer dari padepokan untuk belanja.
“Kadang belanja di pasar, kadang juga ada pedagang sayur yang datang ke padepokan. Tidak tentu sih, tergantung situasi aja,” katanya.
Ia menjelaskan, masak sendiri itu ada kenikmatan tersendiri. Ia bebas menentukan menu hari ini apa, besok apa, dan lusa apa.
Selama mendapatkan jatah dari padepokan, ia tidak bisa memilih menu makanan.
“Saya biasanya tergantung dengan kakak, dan ayah sih, hari ini mau masak apa, nanti saya yang belanja,” ujarnya sembari menggoreng peyek teri.
Dalam sehari, kata YN, belanja untuk tiga orang keluarganya tidak menghabiskan uang lebih dari Rp 50.000. Di padepokan ini, ia tinggal bersama kakak pertamanya, dan ayahnya.
Ia mengaku sudah tiga bulan menetap dan tinggal di padepokan ini.
“Kalau beras kan sudah ada, saya bawa dari Bali. Persediaan saya cukup sampai beberapa bulan depan. Di tenda ini, saya sudah simpan beras 70 kilogram,” terangnya.
Perempuan yang memiliki usaha berjualan mukena bali ini menjelaskan, selama di padepokan hidupnya terasa nyaman dan tentram. Ia tidak merasa kelaparan atau pun kekurangan uang.
Bahkan, ia mengaku rezeki yang didapatkannya itu lebih banyak di padepokan ini.
“Disini saya itu tenang sekali, saya bisa memperdalam ilmu agama,” ujarnya kepada Surya (TRIBUNnews.com Network).
Ketenangan itulah yang menjadi alasan YN untuk tetap bertahan di padepokan. Ia mengatakan, tidak ada paksaan atau aturan yang mewajibkan pengikut di padepokan ini tinggal di padepokan.
Sewaktu – waktu pulang pun tidak ada yang melarang.
“Toh, kata yang mulia (sapaan Taat Pribadi di Padepokan) tanah ini milik santri. Siapa yang mau tinggal dipersilahkan, yang mulia tidak melarang. Justru yang mulia yang akan pergi, kalau semisal tempatnya tidak cukup untuk tinggal santri,” terangnya.
Ia mengaku sebenarnya, bukan persoalan biaya atau hal lain yang membuatnya tetap bertahan di padepokan.
Namun, ia merasakan ketentraman hati, pikiran dan jiwa saat ada di padepokan ini.
“Di sini, saya diajarkan arti keikhlasan, kesabaran, tawadlu, dan masih banyak lagi. Dari sinilah, saya belajar banyak tentang pengetahuan agama,” ungkapnya.
Ditanya soal apa berkenan dijemput paksa oleh Pemerintah Daerah, YN menanggapinya sedikit serius.
Ia mengaku menolak saat ada pihak yang memaksanya pulang ke Bali. Sebab, ia tinggal dan menetap di padepokan itu tidak merepotkan banyak pihak, dan itu dilakukan atas kemauannya pribadi.
“Saya heran aja, kenapa sih saya dianggap seperti itu. Dipaksa pulang, dan sebagainya. Saya masih betah disini, kalau sudah saatnya saya akan pulang kok,” tuturnya.
DS, pengikut asal Bali lainnya, menambahkan, bahwa bukan persoalan biaya yang dibingungkan para pengikut termasuk dirinya.
Ia mengaku masih mampu membeli tiket bus atau travel untuk pulang ke Bali.
“Saya bisa kok pulang sendiri, tanpa harus dibiayi pemerintah. Saya di sini itu, karena ingin tahu hasil akhirnya seperti apa,” katanya.
Saat ditanya lebih jauh terkait hasil akhir, ibu dua anak ini mengaku penasaran dengan hasil akhir perjalanan kasus Taat Pribadi ini.
Ia menyebut kurang greget semisal melihat kasus yang mulia ini dari media baik itu cetak, online, ataupun televisi.
Menurutnya, banyak media yang menuliskan tidak sesuai dengan fakta.
“Saya ingin tahu sebenarnya apa sih yang terjadi. Apa benar yang mulia itu sejahat itu, sampai nekat membunuh dan sebagainya,” imbuhnya kepada Surya (TRIBUNnews.com Network).
Oleh karena itu, dikatakan dia, ingin menyaksikan langsung kebenarannya seperti apa. Selama ini, ia mengaku mengenal Taat Pribadi merupakan sosok yang berwibawa dan selalu memberikan nasehat positif kepada para santrinya.
“Saya kok tidak percaya yang mulia sekejam itu. Ini pasti akan ada kejelasannya, seperti yang disampaikan yang mulia melalui pengacarannya di media beberapa waktu lalu, kita lihat saja nanti di persidangan,” ungkapnya.
Ia berjanji akan pulang ke Bali, setelah semuanya jelas. Artinya, jika sudah ada keputusan dalam persidangan, ia akan pulang kampung dan melanjutkan usahannya yakni salon.
“Saya tetap akan pulang, setelah mengetahui ada jawabannya,” ungkapnya kepada Surya (TRIBUNnews.com Network).
Dia mengaku, sempat melihat langsung kebaikan hati yang mulia dihadapan para pengikutnya. Saat itu, ia dan beberapa temannya diajak ke rumah yang mulia. Di rumah, ia diminta yang mulia menyebutkan nominal uang yang
dibutuhkannya.Ia yakin bahwa Taat Pribadi ini adalah orang yang jujur.
“Dari tangannya itu, saya dikasih uang pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000. Ada juga pecahan uang asing, dan itu semua asli,” imbuhnya.
Pengikut lainnya, AR menambahkan, alasannya bertahan di padepokan ini karena ingin memperdalam ilmu agama. Di padepokan, ia mengaku mendapatkan hidayah dan
pencerahan tentang islam yang sesungguhnya. Bahkan, ia pun terkadang sempat mendapatkan masukan positif dari pengikut lainnya.
“Di sini saya lebih pintar, dan istiqomah. Saya belajar banyak tentang arti kejujuran, dan ikhlas,” katanya.
Selain itu, dikatakan dia, di padepokan itu mendapatkan teman yang banyak. Ia bisa mendapatkan saudara seperjuangan, karena di padepokan banyak pengikut yang berasal dari luar daerah dan sebagainya.
“Saya mendapatkan banyak teman di sini. Di sini itu bukan hanya pengikut yang beragama islam, tapi ada yang kristen, katolik, hindu, dan budha. Semuanya akur menjadi satu, saya kira ini adalah arti kerukunan antar umat agama sesungguhnya,” paparnya.
Ia mengaku tidak ingin pulang ke rumahnya yang ada di Bali. Ia merasa lebih nyaman tinggal di padepokan.
Padahal, anak dan istrinya berada di Bali. Namun, ia berdalih sudah mendapatkan izin dan restu dari anak dan istrinya.
“Saya tetap akan pulang, tapi tidak sekarang. Saat ini saya sedang belajar agama yang sesungguhnya,” jelasnya.
AR pun sedikit tersinggung ketika dianggap tidak memiliki biaya untuk pulang.
Ia merasa memiliki uang untuk pulang, tanpa harus menunggu bantuan pemerintah. Ia terkadang merasa kesal dan marah, ketika dipaksa untuk pulang ke rumah.
“Ini adalah hak saya, jangan paksa saya untuk pulang. Toh saya juga masih pulang ke rumah kok selama ini, entah itu satu bulan sekali atau dua bulan sekali,” tegasnya.
Ditanya soal uang mahar, dan penggandaan atau lainnya, ketiga orang ini kompak mengaku tidak ada sistem seperti itu di padepokan.
Menurut AR, wajar ketika seseorang mau bergabung dengan padepokan itu ada biaya masuk atau pendaftarannya.
“Wajar toh kalau ada biaya masuknya, toh itupun tidak mahal. Saya dulu hanya membayar Rp 1 juta untuk masuk ini, selebihnya hanya sumbangan untuk pembangunan masjid, jalan, dan lainnya. Itu sifatnya tidak wajib, hanya sukarela,” tambahnya.(*)