Laporan Wartawan Tribun Medan/Jefri Susetio
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - BAGI warga Medan, kawasan sentral kristal dan keramik di Jalan Simalungun, bukan tempat asing.
Di sana, ada puluhan pedagang yang jual berbagai barang guci, keramik dan kristal asal luar negeri.
Sentral guci, keramik dan kristal di Belawan, sudah dikenal sekitar 30 tahun.
Pengunjungnya tidak hanya masyarakat warga Sumut. Namun, dari berbagai daerah seperti Jakarta, Padang dan Aceh.
Tatkala Tribun berkeliling, pedagang langsung memanggil secara bergantian.
Mereka, ramah menyapa pengunjung yang berjalan di kawasan itu. Langkah terhenti saat melihat guci bermotif naga.
Guci setinggi 80-an inci itu berada di depan toko. Perpaduan warna merah bergambar naga yang melingkar berpandu dengan kembang-kembang menambah kesan apik.
"Seluruh guci, keramik dan kristal barang impor. Pada umumnya dari Tiongkok dan Italia. Untuk harga guci naga setinggi 82 inci itu dari Tiongkok dibandrol Rp 35 juta."
"Biasanya peminat guci besar istri pejabat, dari berbagai daerah," kata Riani Marpaung (45) pedagang kepada Tribun, Senin (10/10/2016).
Pedagang berkulit sawo matang ini, menceritakan, telah puluhan tahun jadi pedagang guci, keramik dan kristal. Ihwalnya, sekadar membantu orangtua sepulang dari sekolah.
"Orangtua saya juga pedagang di sini. Dulu, saya hanya bantu-bantu orangtua berjualan. Ketika dewasa, saya coba merintis usaha guci sendiri. Jumlah barang yang saya jual ada ratusan," ujarnya.
Tingginya aktivitas perdagangan di Pelabuhan Belawan, lanjutnya, tak menyulitkan pedagang mencari guci, kristal dan keramik. Saban pekan, kapal dari Tiongkok, Singapura bersandar.
"Setiap pekan kapal bersandar sehingga, pedagang tinggal pilih-pilih aja. Jika ada yang unik dan bagus dibeli. Jika enggak ada yang tunda belinya tunggu barang berikutnya," katanya.
Dia menjelaskan, harga guci bervariasi, paling murah seharga Rp 25 ribu hingga puluhan juta. Meskipun demikian, untuk guci asal Italia dibandrol di atas Rp 1 juta. Artinya tak ada yang puluhan ribu.
"Kalau dari Italia jenis bunga, harganya berkisar Rp 1,2 juta. Sedangkan meja guci, dari Italia Rp 4,5 juta. Paling murah keramik asbak rokok Rp 25 ribu."
"Kadang kalau sepi jual murah. Ambil untung tidak banyak karena sejak beberapa tahun ini pembeli sepi," ujarnya.
Ia berujar, sejak setahun belakangan ini, penjualan guci terjun bebas. Bahkan, omzet terkadang hanya Rp 3 juta. Karena itu, ia sekadar mengharapkan istri pejabat, pegawai.
"Memang yang langganan bertahan dari kalangan ibu-ibu. Ada dari Bhayangkari, PNS. Rata-rata karir. Sedangkan pembeli masyarakat umum kurang dratis, mungkin karena ekonomi sulit," katanya.
"Kalau dulu, lumayan. Misalnya jual satu guci untungnya seharga satu barang. Kalau sekarang omzet turun Rp 3 juta, dari biasanya Rp 25 juta perbulan," tambahnya.
Sedangkan, pedagang lainnya Ratna menambahkan, sudah berjualan sekitar 25 tahun. Bahkan, toko yang dimilikinya warisan dari orangtuanya.
"Dulu sudah ada toko-toko kecil dan masih sedikit, jadi awal bantu orangtua meringis usaha masih sepi kali. Hingga sekarang jadi besar. Barangnya dari Cina, eropa. Dulu pedagang dari Jakarta juga ambil barang dari sini," ujarnya.
Dia menyampaikan, barang yang paling diminati pengunjung seperti keramik, guci bergambar hewan.
Namun, tidak jarang ibu-ibu pegawai ataupun perempuan karir membeli piring dan tempat payung kristal.
"Harga bervariasi melihat corak dan modelnya. Dari Rp50 ribu hingga puluhan juta. Kalau yang Rp 50 ribu mangkok, gelas dan Rp 20 juta ada guci yang besar," katanya.
Ia mengklaim pedagang tetapnya dari Bandung, Aceh dan Padang. Setiap bulan rutin mengirim guci, keramik dan kristal kepada seluruh pelanggan.
"Saya juga kirim pesanan ke Aceh, Tebing Tinggi dan Parapat, Jakarta dan berbagai daerah lain. Omzet penjualan enggak tentu, sekarang lagi sepi. Rata-rata Rp 20 jutaan.
(tio/tribun-medan.com)