Laporan Wartawan Tribun Jabar, Teuku Muh Guci S
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG – Kerusakan lingkungan tak lagi menjadi isu di Jawa Barat. Dampak kerusakan sudah dirasakan di Jabar akhir-akhir ini.
Satu di antaranya banjir bandang yang melanda Kabupaten Garut pada Oktober 2016. Belum lagi banjir yang terjadi di beberapa titik di Kota Bandung ketika curah hujan tinggi beberapa waktu lalu.
Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, menilai kerusakan lingkungan yang terjadi di Jabar memang sudah harus menjadi perhatian semua pihak.
Namun, kultur masyarakat yang belum memiliki kepedulian dan kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan menjadi persoalan terbesar yang harus dihadapi.
Digambarkannya, di Afrika terdapat Sungai Nil yang dilewati 17 negara. Mesir salah satunya dan menjadi negara terakhir yang dilewati Sungai Nil. Namun, sungainya bening meski berada di hilir.
“Saya kemudian bertanya ke mahasiswa di Mesir soal perilaku masyarakat Mesir. Untuk kebersihan dan lingkungan, masyarakatnya joroknya sama dengan masyarakat kita. Tapi urusan air, mereka pantang membuang apapun ke sungai. Kalau kita, air, laut, dan udara jorok,” kata pria yang akrab disapa Aher di Hotel Horison, Jalan Pelajar Pejuang, Kota Bandung, Selasa (6/12/2016).
Aher mengatakan, perkembangan dan aktivitas industri dan jasa di Jabar yang pesat juga menjadi salah satu pemicu kerusakan lingkungan.
Banyak aktivitas industri dan jasa yang menggunakan air dalam proses produksinya itu tidak memerhatikan kelestarian lingkungan di sekitanya.Mereka banyak melanggar ketika proses produksi.
“Salah satunya di kawasan Sungai Citarum, yang banyak melanggar itu pelaku industri dan jasa. mereka rakusnya dengan mencari keuntungan tidak memerhatikan masa depan, orang lain, dan lingkungannya,” kata Aher.
Belum lagi, volume kendaraan bermotor di Jabar terus meningkat tiap tahunnya. Hal tersebut merupakan masalah baru lantaran polusi yang ditimbulkan kendaraan bermotor merupakan penyumbang efek rumah kaca terbesar kedua.
Sedangkan dampak efek rumah kaca itu bisa menimbulkan ketidakteraturan cuaca dan cuaca yang tidak menentu.
“Dampaknya petani sulit menanam dan musim tanam menjadi kacau. Nasib nelayan tidak menentu sehingga terjadi kemiskinan hebat. Itu terjadi gara-gara ulah perilaku manusia menyumbang co2 dan gasmetan ke atmosfer kita,” kata Aher.
“Setiap tahun panas meningkat, dingin meningkat, kutub selatan mencair 15 persen, ada sekitar 15 juta ha mencair ketika musim kemarau yang mengakibatkan naiknya mua air laut 10 milimeter setiap tahun,” beber dia.