TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA- Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskanyang terseret perkara dugaan korupsi PT Panca Wira Isaha (PWU) tak kuat menahan tangis saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor Surabaya di Juanda, Sidoarjo, Selasa (13/12/2016).
Dahlan dihadapkan ke meja hijau terkait kasus korupsi yang terjadi di masa kepemimpinannya sebagai Direktur Utama di PT PWU.
Eksepsi yang dibacakan lewat tulisan di smartphone.
Dahlan membaca eksepsi sekitar 11 menit di hadapan majelis hakim yang diketuai M Tahsin SH.
"Marilah bersama-sama kita cegah berkembangnya kebingungan masyarakat dalam hal penanganan korupsi. Terutama yang ditangani oleh kejaksaan. Ada kasus yang terang-benderang dan sangat jelas permainannya, tapi hanya diusut-usut, diubek-ubek, dihaha-huhu, dan ujung-ujungnya D (duh), tidak jadi perkara," ungkap Dahlan dengan suara parau.
Sebaliknya, ada yang dengan jelas sulit disebut korupsi justru diperkarakan. Menurutnya, dengan menggunakan segala cara dan untuk memperkarakannya menggunakan uang negara, jaksa menanganinya tergopoh-gopoh, sampai mengabaikan hak tersangka.
"Gaya kejaksaan seperti itu, Yang Mulia, yang membingungkan masyarakat," terangnya.
Masyarakat yang modal utamanya adalah hati nurani, dan akal sehat dibuat bingung karena sering disuguhi ulah kejaksaaan yang seperti itu, yakni bagaimana mengobjekkan korupsi demi kerakusan politik, kerakusan jabatan maupun kerakusan harta.
"Ulah kejaksaan seperti itu, Yang Mulia, berarti kejaksaan telah menghancurkan semangat antikorupsi di kalangan masyarakat. Masyarakat bisa apatis," ungkap Dahlan dengan suara lantang.
Bahkan, lanjutnya, masyarakat akhirnya percaya pada istilah nasib-nasiban.
Masyarakat akhirnya bisa percaya bahwa orang yang diperkarakan kejaksaan itu belum tentu karena harus diperkarakan tapi hanya karena nasibnya saja yang apes.
Lagi salah mongso atau lagi dimangsa. Atau hanya karena tidak mau menyogok atau bahkan karena tidak mampu menyogok.
"Alangkah tragisnya negeri ini. Setelah hampir 20 tahun reformasi, setelah lima presiden silih berganti, sampai presiden yang program utamanya adalah revolusi mental, masih juga begini-begini," paparnya.
Tatkala para jaksa ini masih remaja, ia diminta untuk membenahi perusahaan daerah Jatim yang lagi sakit.
"Kenapa harus saya? Gubernur Jatim yang saat itu dijabat Imam Utomo menjawab karena Perusahaan Daerah (Perusda) Jatim dalam keadaan sakit parah. Sakit yang menahun,"katanya.
Gubernur mengatakan Perusda harus diubah secara drastis. Aset-asetnya banyak yang jadi beban perusahaan. Harus dikonsolidasikan.
Perusahaan daerah harus dikelola seperti perusahaan swasta untuk bisa maju.
"Sebelum meminta saya, gubernur bersama DPRD Jatim sudah membuat langkah yang sangat radikal. Yaitu mengubah status Perusda menjadi Perseroan Terbatas (PT). Yakni PT PWU," terangnya.
Mengapa mereka mengubah Perusda menjadi PT? Mereka menjawab bahwa dengan status PT, Perusda akan bisa keluar dari kesulitan yang sudah dialaminya bertahun-tahun. Dengan status PT, Perusda bisa membuat keputusan lebih cepat. Birokrasi tidak perlu berbelit-belit.
"Dibentuk PT keputusan tertinggi ada di lembaga RUPS. Bukan di DPRD lagi. Begitulah asbabun nuzulnya. Mengapa gubernur maunya begitu. Mengapa DPRD maunya begitu. Itu bukan mau saya. Itu cetho welo-welo," ujar Dahlan.
Walau susah cetho welo-welo, tetap saja diperkarakan. "Dengan dakwaan menjual aset Pemda tanpa persetujuan DPRD. Bingung, Yang Mulia. Bingung," kata Dahlan dengan nada tersengal-sengal karena menahan tangis.
Dahlan yang terus membaca walau dengan menangis sebenarnya tidak ingin mengungkapkan beberapa poin yang sudah ada.
Ia mengaku takut kalau diungkapkan akan sia-sia makna pengabdiannya. Tapi untuk menunjukkan bahwa ia tak punya niat untuk korupsi tampaknya harus diungkapkan kepada majelis hakim.
Selama menjabat Dirut PT PWU, Dahlan tidak mau digaji. Ia juga tidak mau diberi fasilitas apa pun, perjalanan dinas pun dibiayai sendiri. Termasuk perjalanan dinas luar negeri.
"Saking sulitnya PT PWU di tahun 2000an, sampai saya memutuskan agar kebiasaan memberi sekadar bingkisan lebaran kepada para pejabat daerah pun harus dihentikan," tandasnya.
Dalam kondisi yang sangat berat, Pemda sudah tidak mau menyediakan modal tambahan. Bank juga tidak mau memberi kredit. Tentu saja bank tidak percaya pada PT PWU. Kredit macetnya masih banyak.
Tapi perusahaan ini harus sembuh dari sakitnya dan harus bangkit.
"Akhirnya harta saya pribadi saya jaminkan ke bank. Bank BNI akhirnya memberi kredit Rp 40 miliar dengan jaminan pribadi saya. Untuk membangun pabrik steel conveyor belt. Ini bersejarah bagi PWU dan bagi Jatim. Inilah satu-satunya pabrik serupa di Indonesia. Sejak itu Indonesia bisa tidak perlu lagi impor steel conveyor belt," terangnya.
Ketika melihat aset PT PWU yang kumuh, berbau, dan jadi sumber polusi di Jalan A Yani, akhirnya diputuskan untuk membangun gedung Jatim Expo di atasnya.
Sebagai provinsi terbesar kedua di Indonesia, Jatim belum punya fasilitas ekonomi seperti itu.
Namun PT PWU tidak punya uang. Bank juga belum percaya pada PT PWU.
Untuk memulai pembangunan gedung Jatim Expo, Dahlan sampai menjaminkan deposito pribadinya sebesar Rp 5 miliar. Jadilah sekarang gedung Expo Jatim yang megah itu.
Sebenarnya masih ada yang lebih besar lagi pertaruhan harta saya untuk membuat PWU tidak terpuruk. Namun Dahlan minta izin yang satu ini tidak diungkap agar masih ada tersisa pahala untuknya di sisi Yang Maha Kuasa.
"Semua itu tidak penting. Yang penting adalah, jangan bikin masyarakat bingung. Jangan bikin masyarakat apatis. Jangan bikin masyarakat akhirnya lebih percaya pada unsur nasib-nasiban daripada percaya pada hukum," terang Dahlan dengan bibir bergetar.
Dahlan lantas menyebut orang-orang yang hadir dari tokoh hukum seperti Mahfud MD, mantan Ketua KPK Abraham Samad, Gus Mus, Prof Effendi Gozali, dan Faisal Akbar.
Jangan bawa perkara seperti ini masuk ke pengadilan. "Kalau pun sudah telanjur jangan diteruskan. Jangan sampai pengadilan ini menjadi pengadilan sesat. Maksud saya bukan hanya perkara saya saja, tapi juga perkara-perkara sejenis ini yang banyak sekali terjadi di negeri ini. Kita bantu bapak presiden untuk revolusi mentalnya," kata Dahlan.
Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka aset PT PWU berdasarkan surat perintah penyidikan bernomor Print-1198/O.5/Fd.1/10/2016 tertanggal 27 Oktober 2016.
Dia diduga melakukan pelanggaran pada penjualan aset PWU di Kediri dan Tulungagung pada tahun 2003 lalu.
Posisi Dahlan saat itu sebagai Dirut PT PWU dua periode, dari tahun 2000 sampai 2010.
Sebelum Dahlan, penyidik sudah menetapkan mantan Kepala Biro Aset PWU, Wishnu Wardhana sebagai tersangka.
Setelah Dahlan menjadi tahanan kota, tinggal Wishnu Wardhana yang mendekam di Rutan Medaeng.
Oleh penyidik Kejati Jatim, Dahlan didakwa pasal berlapis.
Dalam dakwaan primer, Dahlan Iskan dijerat melanggar pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU. No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan dalam dakwaan subsider, Dahlan dijerat melanggar Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (SURYA/ Anas Miftakhudin)