Laporan Wartawan Tribun Lampung Wakos Gautama
TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Mantan Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Lampung Albar Hasan Tanjung dituntut tujuh tahun penjara.
Jaksa penuntut umum Sidrotul Akbar dan Muhammad Akbar menyatakan Albar terbukti korupsi proyek land clearing Bandara Radin Inten II.
Menurut Sidrotul, Albar terbukti melakukan korupsi sebagaimana didakwa dalam dakwaan primair pasal pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama tujuh tahun," ujar jaksa Muhammad Akbar saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Rabu (14/12/2016).
Jaksa juga menuntut Albar membayar denda sebesar Rp 200 juta subsidair empat bulan kurungan.
Pada tuntutannya, jaksa tidak menuntut Albar membayar uang pengganti kerugian negara. Ini dikarenakan, Albar tidak menikmati uang korupsi sebesar Rp 4,5 miliar.
Menurut Sidrotul Akbar, uang hasil korupsi mengalir ke orang lain yakni Budi Rahmadi dan oknum Brimob Sulaiman.
Namun Sulaiman sampai saat ini tidak menjadi tersangka.
Korupsi land clearing terjadi pada Agustus 2014 sampai Desember 2014.
Dinas Perhubungan memiliki paket pekerjaan konstruksi land clearing bandara Radin Inten II dengan nilai pagu sebesar Rp 8,7 miliar.
Pada proses lelang, dimenangkan PT Daksina Persada dengan kuasa direktur Budi.
Namun proses lelang itu dianggap tidak sah karena Budi bukan karyawan tetap perusahaan sebagaimana diatur Perpres Nomor 70 tahun 2012.
Namun karena Albar telah menitipkan pesan ke panitia pengadaan untuk memenangkan PT Daksina Persada maka panitia memenangkan PT Daksina.
Setelah itu, Albar selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) menandatangani kontrak dengan Budi.
Dalam prosesnya, Albar membayarkan uang tanpa melakukan pengujian kualitas dan besaran volume yang terpasang pada proyek land clearing.
Pada saat pemeriksaan progres fisik, disebutkan telah selesai 100 persen.
“Faktanya pekerjaan baru mencapai bobot 92 persen,” ujar Sidrotul. Untuk mengejar batas akhir pencairan, Budi bersama Albar membuat laporan akhir pekerjaan seakan-akan pekerjaan land clearing dan pematangan lahan sisi udara baru telah selesai 100 persen.
Jaksa menyatakan pengerjaan proyek ini tidak sesuai dengan spek yang telah disepakati yaitu terdapat kekurangan volume timbunan hasil perhitungan dimensi dan kekurangan volume timbunan hasil pemeriksaan kualitas/kepadatan.
Rangkaian perbuatan itu, menurut Sidrotul telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 4,5 miliar.