TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Budaya Samin yang dikenal memiliki banyak nilai luhur kehidupan dinilai banyak pihak perlu terus diperkuat dan dijaga keberlangsungannya dalam konteks perkembangan terkini.
Kemampuan melestarikan kearifan lokal yang sangat asli Indonesia tersebut diharapkan turut menguatkan tatanan kehidupan kebangsaan. Sehingga, nilai kearifan lokal dan kebhinnekaan Nusantara dapat bertahan dalam menghadapi tantangan baik dari dalam maupun luar tatanan kepentingan bangsa.
Ajaran Samin sendiri telah sekian lama ini menghadapi tantangan dari dalam dan luar lingkungannya untuk tetap bertahan sebagai salah satu pagar terakhir kebudayaan Jawa. Meski saat ini ajaran Samin masih dapat hidup di berbagai wilayah di Blora, Pati, Kudus, Rembang, Bojonegoro dan wilayah lain di Jawa Tengah, namun terjangan kepentingan yang mempolitisasi warganya dinilai kian membesar.
Ajaran ini sejatinya identik dengan kejujuran dan paseduluran (persaudaraan, red). Dengan konsep sosial ‘sedulur sikep’ yang diartikan bahwa semua adalah sedulur untuk disikep, dirangkul dengan erat, maka mestinya permusuhan sekecil apa pun tidak masuk dalam tatanan hidup Samin.
Paseduluran bagi kaum samin, tidak memandang ras, suku dan agama. Mereka lebih menitikberatkan pada sesama mahkluk sosial ciptaan Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Esa. Tak hanya sesama makhluk sosial atau sesama manusia. Dengan alam, tumbuhan dan binatang pun memiliki derajat yang sama sebagai ciptaan-Nya.
Hal ini terungkap dalam Sarasehan Budaya bertajuk "Bertahan Menjadi Samin", di Taman Budaya Raden Saleh, Semarang, kemarin. Acara yang digelar Sie Budaya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah bekerjasama dengan Teater Lingkar Semarang ini dibuka Ketua PWI Jateng, Amir Mahmud.
Hadir sebagai pembicara Mbah Poso dan Mbah Lasio (Sesepuh Sedulur Sikep Samin Klopoduwur Blora), Dr Agus Maladi (pengajar FIB Undip), Moh Rosyid (peneliti Samin dan pengajar STAIN Kudus), serta Prie GS (budayawan).
Aktivis Seni Budaya Jawa Tengah Daniel Hakiki mengatakan bahwa kebudayaan memiliki ranah tersendiri yang mestinya tidak bisa dibaurkan dengan sekadar kebutuhan duniawi orang semata, apalagi di zaman sekarang. Apabila dibaurkan, dikhawatirkan nilai dari kebudayaan itu sendiri akan mengalami degradasi dan lambat laun akan ditinggalkan.
“Saat ini masyarakat Samin sedang banyak disorot. Pemahaman hidup orang Samin dirasa mulai bergeser kepada ranah politik. Ditandai dengan banyaknya pergerakan politik yang massif dari sebagian warganya. Warna tersebut yang kini membawakan eksistensi masyarakat Samin secara umum," papar Daniel.
Hal itu dikhawatirkan dapat mengurangi kearifan atau keluhuran ajaran Samin itu sendiri. Samin mestinya selalu kental dengan nuansa welas asih dan kejujuran. Sebagai ajaran kebudayaan, Samin merupakan ajaran yang sangat tepat untuk menghindari pertikaian dan permasalahan. Seperti yang dianut pula dalam sejarah pergerakan India, melawan tanpa kekerasan.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti Samin dan sejarawan STAIN Kudus Moh. Rosyid menilai telah terjadi pergeseran gerakan Samin dari framework aslinya. Munculnya gerakan bernama Sedulur Sikep kini menjadi gerakan yang tidak lagi memperjuangkan hak dasar wong Samin, salah satunya seperti pengakuan agama Adam. Gerakan Sedulur Sikep kini cenderung larut menjadi LSM konvensional yang menyuarakan aspirasi atas isu sosial terkini atau penolakan atas rencana pembangunan atau industrialisasi misalnya.
“Padahal tidak semua warga Samin sepakat dengan gerakan perlawanan semacam itu. Ciri khas gerakan Samin mestinya adalah pasif, privat, otonom, dan tidak berjejaring. Kredonya adalah wong Samin weruhe te-e dewe, atau tidak ikut campur urusan pihak lain”, jelas Rosyid.
Menurutnya, hal yang lebih penting diperjuangkan warga Samin adalah melawan kemiskinan yang dialami warga Samin akibat kegagalan pertanian karena adanya banjir, wabah penyakit tanaman, kekeringan dan sebagainya. Imbas dari kegagalan panen, banyak warga Samin yang menjadi pekerja di kota atau luar negeri (TKI). Dampak buruk dari lalainya memperkuat kekokohan internal masyarakat Samin tersebut telah membuat interaksi warga Samin dengan lingkungan sekitar menjadi terbatas atau teralienasi.
Sementara itu, salah satu tokoh Ahli Waris Kendeng (AWK) Suyitno berpendapat senada. Sudah sekian lama ini kondisi sosial dan ekonomi warga Samin yang tinggal di sekitar Pegunungan Kendeng, Pati, tidak mengalami perubahan yang berarti. Sebagai contoh, dalam pola pertanian dan kualitas kesehatan warga tidak banyak berubah. Hanya saja sekarang warga sudah banyak yang mencari sumber penghidupan baru dalam usaha jualan dan pertukangan rumah.
Hanya saja, menurutnya, terdapat perbedaan pandangan yang cukup tajam dalam menyikapi beberapa rencana investasi atau industri di Pati. “Sepertiga warga Samin di Pati ada yang menolak rencana pembangunan dan investasi. Namun itu tak bisa diklaim sebagai suara seluruh Samin di Pati," jelas Suyitno.
Ia mengatakan, nilai asli Samin mestinya tidak melakukan perlawanan dengan model frontal atau pertikaian horisontal sesama masyarakat. Karena sejak adanya itikad baik pemerintah dan BUMD dalam menyentuh kehidupan kelompok minoritas ini, model perlawanan harus digantikan dengan cara komunikasi yang baik dan berlandaskan ajaran luhur Samin.