“Ketika tidak ditemukan gambar, maka teks bisa dijadikan rujukan untuk menggambarkan sosok Cut Meutia. Terlebih karena di dalam teks disebutkan taat dalam beribadah, maka dapat dipastikan beliau pasti akan menutup auratnya,” ungkap Haikal.
Muhajir Ibnu Marzuki dari Sekolah Hamzah Fansyuri menjelaskan bahwa pembuktian ketaatan para pejuang Aceh dapat dilihat dari niat perjuangan yang dilakukan karena faktor fisabilillah, bukan karena faktor yang lain.
Di luar rumah
Saat diskudi berlangsung, panitia juga menghubungi budayawan dan kolektor pakaian serta perhiasan bangsawan Aceh, Harun Keuchik Leumiek, yang sedang berada di Kuala Lumpur, Malaysia.
Melalui saluran telepon yang diperdengarkan kepada peserta diskusi, Haji Harun mengatakan, dalam tradisi, perempuan Aceh dahulu mempunyai banyak macam ija sawak yang selalu dipakai saat berada di luar rumah.
“Sementara yang digambar pada uang baru itu tidak mirip orang Aceh, tapi mirip orang Cina,” ujar Haji Harun.
Sementara itu, Kolektor Naskah Kuno, Tarmizi A Hamid menjelaskan berdasarkan catatan dalam manuskrip menyebutkan bahwa Cut Meutia sangat menjaga identitas sebagai bangsawan dan pahlawan serta agamanya.
Menurutnya, pada masa dahulu perempuan Aceh sangat menjaga diri dan tentu saja auratnya.
Unsur panitia, Thayeb Lhoh Angen mengatakan, diskusi ini digelar dengan maksud untuk meluruskan sejarah tentang kehidupan para pejuang Aceh pada masa penjajahan Belanda, khususnya kaum perempuan.
Menurutnya, akan ada diskusi dan aksi-aksi lanjutan untuk meminta Pemerintah Indonesia merevisi gambar-gambar pahlawan perempuan asal Aceh, dengan merujuk kepada data dan bukti-bukti yang ada.
“Bukan hanya merujuk kepada lukisan yang berdasarkan imajinasi pelukis,” imbuh Thayeb. (serambi indonesia/mas)