TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Penggambaran Cut Meutia yang tidak berpenutup kepala (kerudung ataupun jilbab) pada uang kertas Rp 1.000 tahun emisi 2016, menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat Aceh.
Merespons hal itu, beberapa pakar dan pemerhati sejarah Aceh mengupas tentang sosok Cut Meutia, sang pejuang perempuan dari Tanah Rencong. Tepatnya dari kawasan timur kabupaten Aceh Utara.
Pembahasan tentang figur pahlawan nasional asal Aceh ini berlangsung dalam Focus Grup Discussion (FGD) di 3 in 1 Coffee, Lampineung, Banda Aceh, Selasa (27/12/2016).
Kegiatan bertajuk “Hijab untuk Cut Meutia” ini digagas oleh Anggota DPRA, Asrizal H Asnawi, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), dan Sekolah Hamzah Fansyuri.
Saat diskusi berlangsung, panitia juga menghubungi Teuku Akmaluddin, salah satu keturunan Cut Meutia yang menetap di Matangkuli, Aceh Utara, untuk memberikan kesaksiaan tentang sosok Cut Meutia.
“Gambar Cut Meutia tidak pakai jilbab. Gambar yang di uang Rp 1.000 itu bukan foto asli, tapi itu rekayasa. Gambar itu diambil dari foto wajah kemenakannya, Cut Nursidah,” kata Akmal melalui telepon.
Diskusi itu menghadirkan enam pembicara utama, yaitu Arkeolog Unsyiah Dr Husaini Ibrahim MA, cicit Sultan Aceh Darussalam terakhir, Tuwanku Warul Walidin bin Tuwanku Muhammad Yusuf, Anggota DPRA Asrizal H Asnawi, advokat Mukhlis Mukhtar SH, serta dua pegiat sejarah, yakni Haikal Afifa dari Institut Peradaban Aceh dan Muhajir Ibnu Marzuki dari Sekolah Hamzah Fansyuri.
Acara yang dimoderatori mantan wali kota Sabang, Munawar Liza Zainal ini diikuti sejumlah aktivis perempuan seperti Shadia Marhaban dan Norma, para mahasiswa, pegiat sejarah, serta kalangan umum.
Selain mendengarkan penjelasan pembicara inti, semua peserta juga diberi kesempatan berargumen tentang Cut Meutia.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah, Dr Husaini Ibrahim MA berpendapat, sejarah tanpa pembuktian tidak bisa dijadikan sandaran.
Pembuktian dalam sejarah sangat penting untuk mengetahui kebenarannya.
Terkait Cut Meutia, meski tidak pernah ditemukan gambarnya yang mengenakan kain penutup kepala, Husaini meyakini sosok pejuang Aceh itu menutup kepalanya dengan ija sawak (sejenis selendang).
Haikal Afifa dari Institut Peradaban Aceh juga mengakui bahwa dalam sejarah tidak ditemukan adanya gambar Cut Meutia yang mengenakan penutup kepala atau tidak mengenakan penutup kepala.
Tapi, sambungnya, dalam beberapa literatur atau catatan penulis Belanda disebutkan Cut Meutia adalah sosok yang taat beragama.
“Ketika tidak ditemukan gambar, maka teks bisa dijadikan rujukan untuk menggambarkan sosok Cut Meutia. Terlebih karena di dalam teks disebutkan taat dalam beribadah, maka dapat dipastikan beliau pasti akan menutup auratnya,” ungkap Haikal.
Muhajir Ibnu Marzuki dari Sekolah Hamzah Fansyuri menjelaskan bahwa pembuktian ketaatan para pejuang Aceh dapat dilihat dari niat perjuangan yang dilakukan karena faktor fisabilillah, bukan karena faktor yang lain.
Di luar rumah
Saat diskudi berlangsung, panitia juga menghubungi budayawan dan kolektor pakaian serta perhiasan bangsawan Aceh, Harun Keuchik Leumiek, yang sedang berada di Kuala Lumpur, Malaysia.
Melalui saluran telepon yang diperdengarkan kepada peserta diskusi, Haji Harun mengatakan, dalam tradisi, perempuan Aceh dahulu mempunyai banyak macam ija sawak yang selalu dipakai saat berada di luar rumah.
“Sementara yang digambar pada uang baru itu tidak mirip orang Aceh, tapi mirip orang Cina,” ujar Haji Harun.
Sementara itu, Kolektor Naskah Kuno, Tarmizi A Hamid menjelaskan berdasarkan catatan dalam manuskrip menyebutkan bahwa Cut Meutia sangat menjaga identitas sebagai bangsawan dan pahlawan serta agamanya.
Menurutnya, pada masa dahulu perempuan Aceh sangat menjaga diri dan tentu saja auratnya.
Unsur panitia, Thayeb Lhoh Angen mengatakan, diskusi ini digelar dengan maksud untuk meluruskan sejarah tentang kehidupan para pejuang Aceh pada masa penjajahan Belanda, khususnya kaum perempuan.
Menurutnya, akan ada diskusi dan aksi-aksi lanjutan untuk meminta Pemerintah Indonesia merevisi gambar-gambar pahlawan perempuan asal Aceh, dengan merujuk kepada data dan bukti-bukti yang ada.
“Bukan hanya merujuk kepada lukisan yang berdasarkan imajinasi pelukis,” imbuh Thayeb. (serambi indonesia/mas)