TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Harris Rizki berangkat ke sekolah seperti biasa, untuk menjalankan tugas sebagai guru jaga perpustakaan di SDN IV Bubutan Surabaya.
Yang sedikit berbeda, kali ini pria berusia 34 tahun tersebut membawa kostum badut lengkap dengan boneka tangan, Senin (30/1/2017).
Di pertengahan jam menjaga perpustakaan, Harris berganti kostum badut.
Sambil membawa beberapa buku di tas jinjing berikut boneka tangan yang sudah ia siapkan, pria ini keluar sekolah menuju perkampungan kumuh Jalan Pawiyatan.
Sebuah kampung dengan 45 anggota keluarga yang berada persis di belakang sekolah SDN Bubutan IV Surabaya.
"Ini sudah menjadi rutinitas saya sejak 2009 silam, mengajar membaca masyarakat buta huruf. Dulu pertama-tama sering ke Wonokromo dan Gundi. Saya meluangkan waktu di sini karena KepalaSsekolah SDN Bubutan IV juga menghendaki usulan saya untuk mengajar di lingkungan sekitar," tuturnya, Senin (30/1/2017).
Sebelumnya di tahun 2009 silam, Harris aktif mengajar membaca secara gratis di lingkungan Wonokromo.
Pria asal Simokerto, Surabaya ini lalu mengajar dengan berpakaian unik tahun 2015, karena tak ingin murid-muridnya bosan.
"Saya mengajar dari kampung ke kampung khusus kawasan kumuh. Sebelumnya saya juga melakukan survei dulu bagaimana kondisi masyarakatnya, jadi tidak sembarangan. Kostum yang saya kenakan tentu akan menarik perhatian mereka, supaya tidak monoton dan bosan. Jadi selain belajar juga bersenang-senang," ujanya sambil menunjukkan boneka tangan "Ayis" yang biasa membantu Harris menghibur warga di sela-sela materi.
Kedatangan Harris di Jalan Pawiyatan cukup membuat warga merasa diperhatikan.
Mereka secara serempak berkumpul waktu Harris datang untuk belajar di gardu yang belum selesai dibangun.
"Ayo belajar membaca dan menulis," ajak Harris kepada warga.
Sebelum memulai, Harris mengajak para peserta senam terlebih dahulu. Muridnya siang itu mayoritas ibu-ibu rumah tangga, yang sibuk mengurus balita mereka.
Meski muridnya belajar sambil membawa anak, Harris tak keberatan. Dirinya tetap asik dan sabar menjelaskan cara baca dan menulis huruf abjad.
"Tidak apa-apa bu, semuanya masih belajar, ayo sama-sama. Tidak apa, meski sudah sepuh jangan malu," ajak Harris sabar, ketika muridnya, ibu Asiyah merengek malas menulis karena malu dan tak bisa membaca.
Harris mengarti, ibu-ibu rumah tangga itu punya sejumlah kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Sehingga waktu belajar pun tak dibuat lama, hanya sekitar 1 jam saja.
"Kami senang dengan kedatanga npak Harris di sini. Memang di tempat kami, masih ada sebagian warga yang buta huruf atau tak bisa baca tulis. Jadi warga yang belum bisa itu bisa sekalian belajar sama anak-anak yang belum sekolah. Anak-anak kan senang lihat badut," kata Dini Ariyanti (33), salah satu orangtua yang ikut serta belajar bersama.
Punya Banyak Kostum
Alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Surabaya (Unesa) ini mengaku tak hanya punya satu kostum.
Lagi-lagi supaya muridnya tidak bosan, Harris mengoleksi 10 kostum. Beberapa di antaranya adalah Hanoman dan Gatot Kaca.
Mengajar dengan menggunakan kostum unik, Guru SDN IV Bubutan Surabaya sekaligus guru SDK Pringadi Surabaya ini bukan tidak pernah mendapatkan penolakan dari warga.
Namun karena kegigihannya, ia terus melakukan pendekatan. Membuat masyarakat paham pentingnya bisa membaca dan menulis.
"Penolakan pasti ada, tapi tergantung bagaimana cara kita melakukan pendekatan. Awalnya ide ini karena saya merasa prihatin dengan kondisi masyarakat di sekitar. Mereka seolah-olah terpinggirkan, karena pendidikan yang semakin mahal," kisahnya prihatin.
Harris mengaku akan terus mengunjungi perkampungan kumuh, secara rutin seminggu sekali hingga dua kali dengan membawa buku-buku cerita.
Dirinya berharap, dengan memakai kostum saat mengajar, muridnya semakin senang dan semangat belajar. (Pipit Maulidiya)