Ia harus tetep berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ia tak mau menggantungkan hidupnya kepada orang lain.
Selama masih sehat, masih kuat mendingan berdagang daripada meminta-minta.
Tak banyak yang ia dapatkan dalam sehari sekitar 30-50 ribu belum dipotong ongkos angkot dan ojek.
Tak sebanding dengan perjuangannya yang harus berangkat pagi buta dan pulang menjelang Magrib, belum kalau hujan, karena rumahnya yang agak pelosok.
Tak jarang ia naik ojek sambil basah kuyup kehujanan.
Ya Allh Ya Ghofur. Ampuni dosa kami ini yang masih sering mengeluh dengan pekerjaan, yang masih sering mengeluh dengan penghasilan, yang masih mengeluh dengan keadaan.
Jauh. Jauh dibandingkan perjuangan seorang Abah Yayat.
Tak lupa kami selipkan titipan sedekah dari para sahabat Berbagi Senyum, kebahagiaan yang tak terkira tersirat dalam wajah abah Yayat.
Sampai saya disuruh bawa cemilannya gratis. Tapi saya menolak dengan membelinya.
Semoga jadi motivasi buat kita yang mungkin selama ini masih bergantung kepada ortu, yang mungkin masih males-malesan kerja dan yang mungkin belum bisa bersyukur dengan keadaan kita saat ini.
Yuk lariskan dagangannya, Belilah walaupun mungkin kita tidak membutuhkannya, karena mereka berusaha menjaga diri dari meminta-minta. #SelfRemainder #BerbagiSenyum. Menerbar kebahagiaan kepada seluruh manusia."
Pada Tribunjogja.com, Sucahyo menuturkan, Yayat hanya tinggal berdua bersama istrinya yang juga sudah lansia di daerah Sindang Panon, Banjaran. Anak mereka bekerja di Arab Saudi, tetapi jarang pulang.
Yayat menjual makanan ringan seharga Rp 10.000 per tiga bungkus.
Keuntungan yang dia peroleh ungkap Sucahyo, masih dipotong untuk biaya naik angkot dan ojek.
Meskipun demikian, penghasilan dari makanan ringan itu cukup untuk sekadar membeli beras dan lauk pauk.
"Istrinya sehat, tapi ya sehatnya orang tua. Yang penting untuk menyambung hidup. Rumah abah Yayat tidak dilalui angkot sehingga harus naik ojek," ujar Sucahyo. (Tribun Jogja/Say)