TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kabar bakal hengkangnya PT Freeport Indonesia dari bumi Papua membuat sejumlah warga Papua khawatir. Mereka menakutkan bakal terjadinya pengangguran besar-besaran di tempat itu.
Di tengah konflik yang tak kunjung usai ini, Papua jadi korbannya. Pebisnis lokal, mulai dari peternak ayam hingga pemilik hotel dan rental mobil, kehilangan pelanggan akibat karyawan-karyawan perusahaan yang dirumahkan.
Koordinator Lapangan Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) Mikael Adii mengatakan, perekonomian kami lesu dan menurun drastis. Bank lokal pun merugi hingga satu miliar rupiah per bulan akibat kredit macet.
“Jika PT Freeport Indonesia berhenti beroperasi, akan ada puluhan ribu pengangguran baru di Papua. Kami ingin pemerintah memikirkan dampak ekonomi dan sosial yang akan terjadi,” ujar Mikael dalam keterangan persnya
Menurutnya, PT Freeport Indonesia telah membangun dan menyediakan 4 sekolah, 3 rumah sakit umum dan 5 klinik (100 persen gratis bagi masyarakat 7 suku), menekan angka malaria hingga 70 persen, serta membantu pemberantasan tuberkulosis dengan 99 persen tingkat keberhasilan.
GSPF dan warga Papua, Kamis (23/3/2018) menggelar aksi demo, mereka mempertanyakan nasib pendidikan dan pemeliharaan kesehatan mereka di masa mendatang apabila Freeport berhenti beroperasi, namun pemerintah pusat tak kunjung memberi jawaban.
Selama masa beroperasinya di Papua, Freeport telah berinvestasi lebih dari 13 miliar dollar AS di berbagai sektor di Papua—dan saat ini mereka menggerakkan 94 persen perekonomian Mimika. Tak hanya itu, PT Freeport Indonesia juga telah berkontribusi dalam membuka lapangan pekerjaan kepada lebih dari 120.000 masyarakat Papua. Papua masih membutuhkan kontribusi PT Freeport Indonesia, terlebih dengan investasi sebesar 16 miliar dollar AS yang mereka rencanakan di masa mendatang.
John Magal selaku Tokoh Pemuda Amungme juga meminta agar pemerintah pusat segera mengeluarkan izin ekspor konsentrat dan kepastian kelangsungan usaha PT Freeport Indonesia dengan tetap menghormati semangat yang tertuang dalam Kontrak Karya.
"Menurut kami, Kontrak Karya harus tetap dijalankan sampai masa berlakunya habis agar tidak mengganggu tatanan kehidupan kami di Papua,” ujar John Magal.