Ibunya, berjuang dengan mencari kangkung dan menjual ke beberapa warung.
Saat kondisi air pasang, Bu Nur memberanikan diri untuk berenang melewati rawa demi menjual kangkungnya ke warung seberang karena tak ada alat transportasi kecuali dengan ban dalam bekas.
Saat surut, ia berjalan melewati rawa dan sungai.
"Saat saya bangunkan huntara, Fatimah ini ia sibuk sekali dengan bukunya, ia terus belajar, menikmati sekali belajarnya. Ia anak yang rajin dan selalu juara di sekolah, ngajinya juga rajin tak pernah sekali pun bolos. Ia tetap masuk meskipun sakit. Anaknya semangat," jelas Ustaz Munawir.
Sungguh, saya merasa tertampar bertemunya, menangis hati ini bertemu dengan Bu Nur yang selalu senyum sumringah.
Malu rasanya jika kita hidup berkecukupan namun masih banyak mengeluh kurang ini itu.
Malu rasanya mendengar kisahnya dan bertemu dengan Fatimah yang selalu ceria.
Setiap hari 2 perempuan tangguh ini hanya mengkonsumsi mie instan.
Ya, hanya mie instan selama 9 tahun di gubuk kecil, memasaknya di atas tungku dengan kayu-kayu kering.
Mungkin kita tahu namanya rawa, tak ada air bersih tersedia. Namun Allah Maha Adil, 20 meter dari gubuk Fatimah, ada sumber air bersih dan jernih.
Ia minum dan mandi di sana tanpa penghalang dan MCK yang layak. Sulit dipercaya ada sumber di sana, namun inilah kuasa Allah.
Kita beruntung bisa bertemu Fatimah.
Bukan dia yang butuh bantuan kita, namun kitalah yang butuh dia untuk menjalankan kewajiban kita sebagai manusia yang punya cinta.
Bisa saja Tuhan menunjukkan pada orang lain tentang Fatimah.