News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramadan 2017

Alkisah Kampung Mahmud Dibangun dengan Tebaran Tanah Mekkah di Empat Penjuru

Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Lokasi Makam Eyang Dalem Abdul Manaf di Kampung Mahmud, Desa Mekar Rahayu, Kabupaten Bandung. Foto diambil pada Rabu (31/5/2017). TRIBUN JABAR/YUDHA MAULANA

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Yudha Maulana 

TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Penyebaran agama Islam konon salah satunya bermula dari Kampung Mahmud, Desa Mekar Rahayu, Kabupaten Bandung, lima abad lalu.

Jejak perjalanan tokoh-tokoh penyebar ajaran Islam itu masih terlihat hingga kini. Jika menyusuri kampung tersebut Anda akan menemukan pelang "Makom Karomah Mahmud."

Pelang itu menggantung di gapura masuk dari sebuah kampung adat yang terletak di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. 

Adalah Eyang Dalem Abdul Manaf, putra dari Eyang Dalem Nayaderga dan merupakan keturunan ketujuh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal Sunan Gunung Jati menjadi pencetus berdirinya kampung tersebut.

Salah seorang sesepuh kampung, H. Syafie (66) yang juga turunan ke-9 Eyang Dalem Abdul Manaf, bercerita ketika Tribun Jabar menyambangi kediamannya di Kampung Mahmud kemarin.

Ia mengatakan bahwa Kampung Mahmud merupakan bentuk keteguhan dari leluhurnya untuk menyebarkan ajaran Islam.

Eyang Dalem Abdul Manaf mendapatkan ilham untuk membuat kampung sekaligus pesantren di atas rawa-rawa pinggiran Sungai Citarum. Namun, untuk menuntaskan hajatnya Eyang diharuskan melakukan "tebusan".

Tebusan itu mengharuskan Eyang Dalem Abdul Manaf pergi ke Tanah Suci dan mengambil segenggam tanah di Kampung Mahmud yang berada di Mekkah. Tanah tersebut kemudian ditebarkannya ke berbagai penjuru rawa, hingga akhirnya bisa dibentuk suatu kampung.

"Saya kurang tahu apakah dulunya di sini ada kampung dulu atau tidak, tapi dulunya memang benar di sini adalah rawa, sebab Kp Mahmud dikelilingi oleh Citarum, seolah-olah pulau kecil tapi tidak pernah kebanjiran," kata H. Syafie.

Dalam perjalanannya menyebarkan ajaran Islam, Eyang Agung Dalem Abdul Manaf didampingi dua murid yang patuh terhadap ajaran Islam. Mereka adalah Eyang Agung Zainal Arif dan Eyang Abdullah Gedug.

Eyang Agung Zainal Arif merupakan putra dari Eyang Asmadin dan keturunan keempat dari Syeikh Abdul Muhi dari Pamijahan, Karangnunggal, Tasikmalaya.

Khusus untuk Eyang Agung Zainal Arif, ia ditugaskan oleh Eyang Dalem Abdul Manaf untuk melakukan uzlah atau bertapa selama 33 tahun di 33 gunung.

Sedangkan Eyang Abdullah Gedug dididik langsung oleh Eyang Dalem Abdul Manaf. Atas izin Allah, kata H. Syafie, agama Islam dapat menyebar secara cepat di tatar Priangan.

Ilmu tauhid menjadi salah satu ajaran yang paling dikemukakan oleh Eyang Dalem Abdul Manaf disamping mengajarkan kepada pengikut ajarannya untuk berperilaku rendah hati dan mencontoh amalan Rasulullah Muhammad SAW.

Oleh karena itu, beliau memberikan beberapa pantangan untuk keluarga maupun pengikutnya.

Mulai dari larangan berternak kambing dan angsa (soang), menggelar wayang, menabuh go'ong, menampilkan jaipongan, membuat sumur, hingga membuat rumah megah yang terbuat dari bata dan memasang kaca.

Larangan tersebut dijalankan dengan baik oleh warga Kampung Mahmud yang kebanyakan merupakan keturunan dari Eyang Dalem Abdul Manaf.

Rumah-rumah di kampung tersebut sebagian besar berbentuk panggung dengan dinding dari bilik bambu dan tidak menggunakan genteng barong dan tembok.

Tak gubahnya rumah penduduk, Masjid raya dan madrasah yang berada di dalam kampung pun menunjukkan rancang bangun yang serupa dengan menerapkan filosofis Sunda.

Kendati demikian, kata H. Syafie, larangan untuk membangun rumah tersebut dilanggar oleh segelintir penduduk kampung.

"Saat orang tua berupaya menjaga tradisi, tapi anak cucunya ada saja yang membangun rumah gedong, padahal itu diajarkan oleh Eyang untuk menjaga kerendahan hati, karena hidup itu sementara dan kita akan berpulang ke akhirat nanti yang kekal," ujar pria berjanggut tebal itu.

Pernah suatu ketika satu keluarga berupaya membuat sumur di dalam kampung, tapi sumur tersebut tidak pernah rampung dikarenakan tanah galian yang terus amblas ditambah dengan munculnya berbagai hewan melata dari dalam lubang galian.

Kendati demikian, Eyang Dalem Abdul Manaf, hanya memberlakukan larangan tersebut hanya di dalam kampung saja.

"Eyang pernah memerintahkan untuk menggunakan Sungai Citarum yang dulu bersih untuk segala keperluan, boleh saja membangun sumur, asalkan di luar kampung," kata dia.

Beliau membuat penanda batas Kampung Mahmud berupa tugu batu dengan ukiran berbentuk kepala di atasnya di sebelah utara kampung. Pasalnya, Kampung Mahmud dibatasi oleh Sungai Citarum di bagian lainnya.

Sekarang, tugu tersebut disimpan rapat dengan kelambu di dalam ruangan berpagar besi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Termasuk pencurian dan pengrusakan tugu.

"Padahal itu hanya sebagai penanda saja, bukan untuk yang lain," kata dia.

H. Syafie dan sebagian besar masyarakat di sana percaya jika roh dari seorang waliyulah akan tetap ada, bahkan dapat berinteraksi dengan keturunannya. Banyak peziarah yang datang untuk ikut berdoa.

"Kalau malam Jumat dan Minggu ramai yang datang ke sini, kalau saat Ramadhan seperti ini agak jarang," ujar H. Syafie.

Bila kita menelisik ke barat kampung tersebut, akan kita temui makam dari Eyang Dalem Abdul Manaf.

Sebelum masuk ke dalam, peziarah akan menemui kotak infak di pintu masuk. Lokasinya tepat berada di belakang Masjid Raya Kampung Mahmud.

Para pedagang menjajakan berbagai dagangan, mulai dari kudapan ringan, buku-buku agama, tasbih, hingga berbagai kerajinan tangan. Kios-kios penyedia makanan berat pun dapat ditemui di beberapa titik.

Walau lokasinya agak terpencil dan berdekatan dengan proyek Tol Soroja di pinggiran kota, Kampung Mahmud dapat diakses dari berbagai arah. Baik dari arah Kota Bandung maupun Soreang.

Dari arah Bandung, peziarah dapat menggunakan angkutan kota (angkot) jurusan Tegalega-Mahmud. Peziarah akan berhenti di terminal Mahmud yang lengang, namun perlu diperhatikan angkutan ini hanya beroperasi hingga pukul 18.00 WIB.

Sedangkan bila dari Soreang harus menggunakan angkot menuju Cilampeni dilanjutkan menggunakan ojek menuju Kampung Pameuntasan dan dilanjutkan dengan berjalan kaki.

Kampung Mahmud dihuni oleh kurang lebih 400 KK yang didalamnya terdapat 1 RW dan 4 RT. Sebagian besar mata pencaharian warga dari bertani, pengrajin dan pengusha mebel, pedagang dan sebagian lagi bekerja.

"Kampung Mahmud ini, kampung yang terpuji," ia menegaskan.

Rustandi (30), peziarah asal Garut, datang ke makam Eyang Dalem Abdul Manaf untuk mengingat kematian.

"Dengan mengingat mati, kita akan berusaha sebaik mungkin untuk berbuat kebaikan di sisa kehidupan," kata Rustandi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini