Kunto mengatakan, di sekitar Mihrab dan mimbar dianggap sengai tempat sakral, karena di tempat itu kerap dipakai Kyai Ageng Mohammad Besari berdoa.
Sementara itu bagian atap masjid beratapkan genteng berbentuk sirap terbuat dari kayu jati berukuran 50 cmX25cmX25cm.
"Aslinya genteng, namun ada pemugaran kemudian diganti sirap (kayu jati)," katanya.
Dikatakannya, terdapat tiga tingkatan atap atau yang memiliki filosofi tiga hal yang harus dimiliki umat Islam, yakni Iman, Islam, dan Ihsan.
Pada bagian atap paling atas terdapat tempayan terbalik yang merupakan peninggalan Kyai Ageng Muhammad Besari.
Tempayan dari tanah liat berdiamter sekitar satu meter itu dipasang pada bagian atap paling atas hingga menyerupai kubah.
Di bagian depan masjid, terdapat batu "bancik" yang ada di depan masjid konon diambil dari bangunan kerajaan Hindu Majapahit setelah kerajaan itu runtuh.
Batu tersebut, kata Kunto dulunya kerap dipakai Kyai Ageng Mohammad Besari duduk pada saat sholawat dan berdoa.
Bentuk permukaan tiga batu yang memiliki ukuran yang berbeda itu tidak rata.
Menurutnya, ada sejumlah pengunjung yang usil mengambil bagian dari batu untuk dibawa pulang.
"Kadang ada yang sengaja mengambil, nggak tahu bagaimana caranya. Makanya sebenarnya saya ingin itu agar ditutup saja," katanya.
Di samping masjid juga terdapat sumur. Sumur itu, kata Kunto tidak pernah kering, meskipun pada saat musim kemarau tiba.
Beberapa orang juga meyakini, air dari sumur itu mengandung khasiat.
Beberapa meter dari Masjid, di sebelah timur terdapat Surau dan juga kediaman atau rumah Kyai Ageng Mohammad Besari.
Sedangkan di bagian barat masjid terdapat makam agung, Kyai Ageng Mohammad Besari.
Di bagian utara masjid, dulunya digunakan sebagai pondok pesantren. Namun, bangunan yang ada saat ini merupakan bangunan baru.