TRIBUNNEWS.COM, BALI - Ketua Yayasan Metta Mama dan Maggha, Vivi Monata menjelaskan, bayi JD dibawa ke Yayasan Metta Mama dan Maggha oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Bali.
Awal mula bayi JD berada di yayasannya saat Vivi menerima telepon dari Dinas Sosial pada 20 Maret 2017.
Waktu itu, Vivi yang masih berada di Jepang mempersilakan pihak Dinas Sosial langsung ke yayasan menemui kepala bidan yayasan tersebut.
"Yang bawa P2TP2A. Mereka menghubungi Dinas Sosial Provinsi Bali, terus Dinas Sosial menghubungi saya," jelas Vivi saat ditemui di yayasannya, kemarin.
Waktu itu, oleh pihak Dinas Sosial dan P2TP2A Provinsi Bali, pihak yayasan tidak diperbolehkan mempublikasikan mengenai kasus kekerasan tersebut ke publik secara luas.
Suami Istri Bunuh Diri, Keponakan Korban: Saya Takut karena Melet, Wajahnya Menatap Saya https://t.co/OogMjkpUjz via @tribunnews
— TRIBUNnews.com (@tribunnews) July 29, 2017
Itu sebabnya, kasus kekerasan yang sebetulnya sudah lama terjadi itu baru diketahui publik sejak beredarnya rekaman video pada Kamis (27/7/2017).
"Karena tidak diizinkan untuk di-publish, karena kan kepentingan kami untuk menjaga bayi saja, jadi kami memang tidak publish," kata Vivi.
Dia mengungkapkan, saat pertama kali diterima, kondisi bayi JD kurang baik dan mengalami pilek.
“Bayi JD mengalami pilek dan ketakutan, ya kondisinya kurang baik sih,” ucapnya.
Baca: 5 Fakta Ibu Aniaya Bayinya di Bali, Stres Karena Ditinggal Kekasih Bulenya!
Kemudian, setelah tiga bulan dirawat di YMMM, pihak P2TP2A Provinsi Bali bersurat kepada Dinas Sosial dan ke pihak yayasan yang isinya bahwa bayi JD akan ditarik kembali oleh ibu kandungnya.
Namun, waktu itu permintaan P2TP2A Provinsi Bali ditolak oleh Dinas Sosial karena sang ibu dianggap belum layak mengasuh bayi JD.
Setelah itu, pihak ibu kandung JD melalui P2TP2A Provinsi kembali bersurat kepada Dinsos agar bayinya bisa dikembalikan dan dirawat oleh ibu kandungnya pada Kamis 27 Juli 2017.
Bahkan, Kamis kemarin sejumlah pihak sudah sempat duduk bersama di yayasan tersebut untuk membahas masalah bayi JD.
Tapi permintaan ibu kandungnya itu kembali ditolak lantaran dianggap masih belum layak.
MD diminta untuk melakukan tes psikologis sebelum mengambil anaknya.
"Kemarin (Kamis, red) harusnya diserahkan jam satu. Semua sudah datang di sini, Dinas Sosial dan P2TP2A. Terus ada surat dari Dinas Sosial, ada penolakan. Bahwa ada syarat yang belum dipenuhi," tutur perempuan kelahiran 23 Juli 1975 itu.
Ketika pertemuan pada Kamis (27/7/2017) itu, pihak P2TP2A Provinsi Bali yang dihadiri oleh Ketua Harian bernama Lely sangat bersikeras agar bayi JD bisa segera diambil oleh ibu kandungnya.
Alasannya, kata Lely, seorang anak akan lebih baik jika dirawat oleh ibu kandungnya.
Hanya saja, saat dikonfirmasi langsung ke Lely, kemarin, pihaknya tidak mau menjawab pertanyaan Tribun Bali.
Ia mengaku masih bertugas di rumah sakit.
"Saya sedang ada pasien, tidak bisa menjelaskan dulu," kata perempuan yang juga selaku dokter psikiater itu.
Sementara itu, Kasi Rehab Sosial Anak dan Lanjut Usia Dinas Sosial Porvinsi Bali, Ida Ayu Ketut Anggreni, mengatakan pihaknya memang belum menginzinkan MD untuk mengambil kembali anaknya.
“Karena masih ada kajian lebih dalam dan kami tidak ingin gegabah dalam hal ini,” katanya. (*)