Naskah-naskah kuno tersebut tertulis dalam aksara sunda buhun dalam daun lontar.
Setiap huruf yang ada di naskah ditulis menggunakan dua cara.
Baca: MUI Sebut Pondok Pesantren di Bogor yang Diduga Terkait ISIS Ini Tidak Terdata
Yakni memakai tinta dan diukir.
Penggunaan daun lontar sebagai simbol agar bisa disalin, dibaca, dan digali maknanya.
Penelitian tentang naskah kuno tersebut baru dimulai pada tahun 2007 yang digagas peneliti dari Universirtas Padjajaran.
"Ada juga peneliti dari Jerman, Itali, dan Belanda yang ikut membantu. Hasilnya belum diketahui semuanya. Baru naskah kedua soal pujangga manik yang bisa diterjemahkan," kata Ujang yang sudah menjadi kuncen sejak 2001 menggantikan ayahnya.
Baca: Anggaran Pilkada Serentak di Jabar Sebesar Rp1,6 Triliun, Aher: Jangan Menghitung Dana
Ketiga naskah kuno itu disimpan dalam peti.
Sebagian naskah kuno kondisinya sudah rapuh dimakan usia.
Namun, sebagian lagi masih bagus.
Dari hasil penelitian, penulis naskah kuno tersebut merupakan penyair dari Negara Hindia atau dari Kerajaan Hindu Budha.
"Tapi untuk siapa nama penulisnya belum diketahui. Riwayat ayah saya, barang (naskah kuno) sudah ada di lokasi ini sejak lama. Dulunya masih dibungkus pakai gentong. Tidak berani dibuka," ujarnya.
Naskah-naskah kuno itu, menurut Ujang merupakan rangkuman dari tiga kitab yang ada di dunia ini.
Yaitu kitab Zabur, Tauret, dan Injil.
Naskah tersebut memang diperuntukkan bagi umat terakhir di dunia.