TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –Pilkada di Kabupaten Jayapura, Papua, bisa dikatakan sebagai pilkada terlama.
Penyebabnya adalah tindakan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mengeluarkan rekomendasi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar mendiskualifikasi calon bupati petahana Mathius Awoitauw.
Mathius dianggap melanggar pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Baca: Cewek Ini Ungkap Alasan Denis Kancil jadi Pembalap dan Unggah Foto Keintimannya di Instagram
Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai rekomendasi Bawaslu tersebut keliru dan bisa menimbulkan kesan adanya konflik kepentingan yang melibatkan Bawaslu.
"Menurut saya keputusan Bawaslu itu keliru atau tidak tepat, karena pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 itu tidak bisa dibaca hanya satu ayat berdiri sendiri. Jadi harus dibaca secara keseluruhan," kata Refly kepada wartawan di Jakarta, Jumat (6/10/2017).
Menurutnya, pasal dalam UU tersebut jangan hanya dibaca mengenai pergantian atau mutasi pejabat semata, tapi harus dibaca bahwa pergantian itu dianggap bakal menguntungkan calon petahana (incumbent) atau tidak.
Baca: Belum Aktif, Setya Novanto Tetap Tandatangani Surat DPR yang Mendesak
"Kalau pergantiannya dilakukan setelah pemungutan suara ulang dilakukan tentu sangat tidak masuk akal jika itu dianggap sebagai menguntungkan salah satu calon dalam hal ini incumbent," kata Refly.
Namun Refly mengatakan, jika pergantian atau mutasi tersebut masih dianggap pelanggaran tidak bisa (serta merta berbuah pada rekomendasi diskualifikasi).
"Tetapi bisa juga diadukan ke Mendagri. Biarlah Mendagri yang menentukan, apakah pemberhentian tersebut sah atau tidak," katanya.
Lebih lanjut Refly mengatakan, Bawaslu seharusnya perlu sangat berhati-hati mengeluarkan rekomendasi pencoretan seorang calon.
Apalagi diketahui calon tersebut unggul dalam pilkada yang telah dilaksanakan.
Baca: Duel Ibu Bertetangga Berujung Maut, Gara-gara Pintu Sampai Amuk Massa
"Bawaslu merekomendasikan seseorang untuk dicoret dan kemudian memaksa KPU untuk mencoret, maka menurut saya itu akan menimbulkan conflict of interest (konflik kepentingan," kata Refly.
Master Hukum lulusan Universitas Indonesia ini menambahkan bahwa pencoretan atau pembatalan dari kemenangan salah satu calon dalam pilkada adalah sanksi yang berat.
"Seharusnya Bawaslu menggunakan fungsinya untuk menyelesaikan sengketa atau menyidangkan suatu hal. Jadi kalau dia berdasarkan analisis sendiri kemudian merekomendasikan pembatalan calon maka dikhawatirkan tidak memberikan kesempatan yang layak pada pihak yang dibatalkan," kata Refly Harun.