TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Papan larangan untuk memberikan uang atau barang kepada pengemis dan gelandangan terpasang di beberapa titik strategis di Kota Yogyakarta.
Namun rupanya, pesan yang ada di papan yang merupakan satu bentuk dari sosialisasi Perda DIY No 1/2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis ini hanya menjadi hiasan belaka.
Lantaran pengguna jalan masih sering memberikan uang kepada gelandangan dan pengemis, maka keberadaan pengemis dan gelandangan ini masih sering saja dijumpai di sejumlah sudut di Kota Yogyakarta.
Padahal pesan yang ada di papan larangan tersebut menyebutkan adanya ancaman hukuman denda dan bahkan pidana kepada siapapun yang memberikan santunan kepada pengemis dan gelandangan di jalan.
"STOP! Memberikan recehan di jalan. Peduli tidak sama dengan memberi uang. Salurkan uang receh anda pada organisasi sosial dan keagamaan," demikian satu contoh pesan di papan tersebut.
Lantaran sosialisasi yang minim dan juga penegakan terhadap Perda tersebut masih jalan di tempat, maka keberadaan pengemis dan gelandangan di Kota Yogyakarta kembali menjamur.
Ironisnya, tak semua pengemis melakukan pekerjaannya lantaran tidak adanya pilihan lain.
Selain itu, meski statusnya sebagai pengemis, penghasilan yang diperoleh tidak bisa dibilang kecil. Bahkan saat berangkat mengemis, sebagian dari mereka membawa sepeda motor.
Beraksi di simpang empat Jogokariyan, seporang pria berambut pirang berperawakan kecil dengan tompel di bagian dagunya tampak membawa bambu dan botol air mineral yang dibelah.
Setiap lampu menyala merah, ia kemudian berjalan ke tengah menghampiri pengendara sepeda motor yang tengah berhenti.
Langkahnya yang tampak tidak sempurna sering mengundang empati pengguna jalan dengan memberikan uang kepada pria yang belakangan diketahui bernama Budi ini.
Memanfaatkan jeda lampu merah, ia terus berkeliling dari satu pengendara ke pengendara lainnya, baik roda dua maupun mobil.
Saat ada pengendara yang memberikan uang, Budi langsung memasukkannya ke dalam ransel yang dia tenteng.
Sedangkan wadah dari botol air mineral yang ia gunakan untuk meminta-minta dibiarkan tetap kosong.
Dari penelusuran Tribun Jogja, pria bernama Budi ini merupakan warga asli Gombong Jawa Tengah.
Ia tinggal di sebuah kontrakan di Kricak Kidul. Sekilas tidak ada yang aneh pada pria ini, namun jika lebih jeli, dalam bekerja ia tak seorang diri.
Di sekitar Budi beraktifitas sebagai pengemis, biasa terparkir sepeda motor matic miliknya yang sudah diubah menjadi sespan.
Di atas sepeda motor itu, istri dan anak perempuan Budi selalu setia menungguinya.
Saat Budi berjalan dengan kakinya yang tidak sempurna, maka dua perempuan di atas sepeda motor matic tersebut seringkali terlihat asyik bercengkerama.
Suatu ketika, dua perempuan, ibu-anak ini tampak sibuk mengecat kuku.
Di kesempatan berbeda, sang ibu tampak menyisir rambut anak perempuannya yang sudah menginjak remaja.
Sementara yang lebih sering tampak adalah, ibu dan anak perempuan itu larut memainkan smarthphone dengan headset tersemat di kedua telinganya.
Keluarga ini selalu berpindah-pindah saat mencari uang. Namun, saat Maghrib menjelang keluarga ini akan kembali ke kediamannya.
Dalam satu kesempatan ketika Tribun Jogja mengikutinya, sebelum sampai di rumah, keluarga ini juga berhenti masuk ke minimarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Sayangnya, saat ingin mengupas lebih jauh terkait pilihannya menjadi pengemis, Tribun Jogja yang menemuinya di tempat kosnya justru diusir.
Saat ditemui di rumah kosnya, Budi sempat menyambut dengan ramah.
Namun saat sang anak dan istrinya keluar, keduanya langsung mengusir Tribun Jogja.
Keduanya kompak berteriak, "Ngapa kowe mbene. Rasah ngganggu uripe uwong! Isa lunga ra, apa aku sik lunga!!, (Napa kamu kesini. Tak usah ganggu hidup orang! bisa pergi gak, Apa aku yang pergi?-red)" begitu teriakan istri dan anak Budi, Senin (9/10/2017) malam. (Tim Lipsus Tribunjogja.com)