TRIBUNNEWS.COM, AMLAPURA - Asap di puncak Gunung Agung, Sabtu (2/12/2017) sekitar pukul 22.30 Wita teramati sangat tipis.
Tim PVMBG di Pos Pantau Rendang bahkan mengamati asap nyaris tak teramati sejak pukul 19.00 Wita.
Kasubid Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur, Devy Kamil Syahbana mengatakan, kegempaan saat ini relatif tenang.
Gas SO2 yang terukur kemarin siang turun drastis konsentrasinya dibandingkan fase erupsi eksplosif pada 26 hingga 27 November 2017.
"Saat ini nilainya lebih rendah 20 kalinya," ucap Devy.
Baca: Prihatin Letusan Gunung Agung, Kaisar Jepang Akihito Batalkan Perayaan Ulang Tahun di Bali
Ia mengungkapkan, kondisi tersebut dapat merefleksikan setidaknya dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, magma yang naik ke permukaan lajunya melemah karena kehilangan energi akibat gas magmatik telah semakin berkurang pasca erupsi beberapa waktu lalu dan pada akhirnya habis, menuju keseimbangannya (equilibrium).
Dan kemungkinan kedua, terjadi penyumbatan pada pipa magma, sehingga fluida magma yang bergerak ke permukaan terhalang oleh lava di permukaan yang mendingin dan telah mengeras.
Devy memprediksikan, apabila kemungkinan pertama yang terjadi maka potensi terjadinya erupsi akan berkurang karena magma kehilangan mobilitasnya.
Baca: Hadiri Reuni Alumni 212, Amien Rais: Pak Jokowi Negara Jangan Dijual ke Aseng atau Asing
Bahkan, erupsi-erupsi selanjutnya bisa jadi tidak teramati lagi dalam waktu dekat sampai magma baru suatu saat nanti lahir lagi.
Namun, apabila kemungkinan kedua yang terjadi maka potensi terjadinya erupsi akan meningkat karena akumulasi tekanan magma bertambah.
Pada waktu tertentu, ketika lava yang menutupi keluarnya magma tadi kekuatannya lebih rendah dari tekanan yang diakumulasi di bawahnya, maka erupsi dapat terjadi.
Devy menambahkan, dari kemungkinan kedua tadi diprediksikan terjadinya dua fenomena berdasarkan masa tenang.
Ia menjabarkan, jika masa tenangnya lama maka kemungkinan akumulasi tekanannya semakin besar, erupsi memungkinkan terjadi lebih eksplosif dari erupsi kemarin.
Pada erupsi tahun 1963 lalu terdapat fase istirahat sekitar 2 minggu sebelum terjadinya erupsi utama yang mencapai ketinggian sekitar 23 km.
Sedangkan, jika masa tenangnya pendek, maka kemungkinan akumulasi tekanannya tidak besar, erupsi memungkinkan untuk terjadi dengan dengan eksplosivitas mirip erupsi kemarin atau lebih rendah dari pada erupsi utama tahun 1963.
"Perlu diingat, karena kompleksitas yang dimiliki oleh gunung api maka, sains vulkanologi hingga saat ini belum bisa didekati dengan metode deterministik (sesuatu yang pasti)," kata Devy.
"Vulkanologi adalah sains yang didekati metode probabilistik, dimana unsur ketidakpastian harus selalu dimasukkan. Artinya, meskipun saya menjelaskan beberapa kemungkinan, bisa jadi Gunung Agung punya rencananya sendiri yang tidak masuk ke kemungkinan di atas. Oleh karena itu, kita perlu bersabar menunggu perkembangan data sehingga kita benar-benar melihat indikasi yang lebih jelas kemana Agung memilih jalan," ucap Devy.
Ia mengimbau warga tetap meningkatkan kewaspadaan terkait kondisi Gunung Agung.
"Kita tidak boleh lengah dan harus selalu siap siaga dengan segala kemungkinan. Mudah-mudahan Gunung Agung memilih jalan yang kita harapkan, yaitu kemungkinan satu, erupsinya selesai, supaya masyarakat bisa segera pulang dari pengungsian dan kembali beraktivitas normal," harap Devy.