TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (Kompak) dan Aliansi Masyarakat Nasional (Amman) Flobamora Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta Mahkamah Agung memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri Bajawa agar segera eksekusi perkara gedung DPRD Nagekeo yang sudah berkuatan hukum tetap (inkracht).
Mereka juga mendesak MA segera mengirim salinan putusan perkara Nomor 1574/PDT/2017 tertanggal 19 September 2017 kepada PN Bajawa yang berisi menolak permohonan kasasi tergugat, Bupati Nageko Elias Djo yang meminta MA agar perkara gedung DPRD Nagekeo tidak bisa dieksekusi.
Sekitar 100 orang masyarakat yang tergabung dalam berunjuk rasa di depan gedung Mahkamah Agung (MA) di Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (15/12)
Ketua Kompak NTT, Gabriel Sola, tidak segera diekseksekusinya gedung DPRD Nagekeo, maka, pertama, Elias Djo dan wakilnya Paul Nuwa Veto yang paling bertanggungjawab atas kasus tersebut.
Menurut Gabriel, dengan inkracht-nya perkara tersebut maka dua orang ini harus bertanggung jawab secara pidana dan masuk penjara.
Baca: Bonus Musim Dingin Karyawan di Jepang Rata-rata 710.000 Yen, Hakim Mahkamah Agung Paling Tinggi
Karena atas keputusan Elias Djo dan Paul Nuwa Veto (sebagai Ketua DPRD Nakegeo waktu itu) menyebabkan negara dirugikan sebesar Rp 10,3 miliar untuk membangun gedung DPRD Nagekeo itu.
“Belum termasuk uang membeli lahan tersebut kepada orang yang salah,” kata dia.
"Belum dieksekusinya gedung tersebut maka kemanfaatan hukum serta kepastian hukum tidak ada," kata dia.
Jika gedung DPRD Nagekeo belum juga dieksekusi maka citra pengadilan semakin rusak.
“Wibawa pengadilan juga rusak. Masa putusan yang sudah inkracht belum juga dieksekusi,” kata dia.
Saat unjuk rasa itu, Jumat kemarin, mereka membentangkan spanduk dan poster yang bertuliskan “Segera eksekusi gedung DPRD Nagekeo”, “MA dan PN Bajawa jangan mau disuap agar perkara tersebut tidak dieksekusi”, “Segera mengirim salinan putusan perkara Nomor 1574/PDT/2017 tertanggal 19 September 2017 kepada PN Bajawa”, “Kembalikan Hak Ulayat Masyarakat Lape”.
Sekitar 30 menit mereka berunjuk rasa, pihak MA meminta lima orang perwakilan mereka agar menemui perwakilan MA di ruangan lantai 1 Gedung MA.
Lima orang perwakilan pengunjuk rasa itu diterima Panitera Muda Perdata MA, Prim Hariadi. Prim Hariadi mengatakan, salinan putusan perkara Nomor 1574/PDT/2017 tertanggal 19 September 2017 masih di tangan tiga orang majelis hakim yang memutuskan perkara tersebut.
Baca: Kemendikbud: Tidak Ada Maksud Mendikbud Untuk Merendahkan Masyarakat NTT
“Namun, saya berjanji secepatnya saya menemui tiga majelis hakim itu agar salinan putusan segera dikirim ke PN Bajawa,” kata dia.
Selanjutnya, para pengunjuk rasa membubarkan diri.
Kepala Divisi Hukum Kompak NTT, Paulus Kune menegaskan, kalau MA tida secepatnya mengirim salinan putusan perkara tersebut, maka Kompak NTT akan menduduki gedung MA.
Diketahui, Gedung DPRD Nagekeo dibangun di atas lahan sengketa.
Penggugat adalah Remi Konradus yang bertindak atas nama pemegang hak ulayat Suku Lape, Nagekeo.
Tergugat atau termohon adalah Efraim Fao sebagai tergugat I, Bupati Nagekeo sebagai tergugat II, dan DPRD Nagekeo sebagai tergugat III.
Tanah sengketa seluas 15.000 meter persegi atau 1,5 ha. Di atas lahan itu sudah dibangun gedung DPRD senilai Rp 10,3 miliar.
Gedung itu belum selesai dan hingga saat ini masih disegel oleh penggugat.
Perkara sudah melewati (a) Pengadilan Negeri (PN) Bajawa, (b) Pengadilan Tinggi Kupang, dan Mahkamah Agung (MA) untuk kasasi dan peninjauan kembali.
Semuanya dimenangkan penggugat.
Karena putusan MA hanya bersifat declaratoir, maka pengguat mengajukan gugatan baru ke PN Bajawa agar putusan bisa dieksekusi (condemnatoir). PN Bajawa mengabulkan permohonan penggugat.
Tidak menerima putusan PN Bajawa yang mengubah perkara declatratoir (hanya mengumumkan saja, tidak bisa dieksekusi) menjadi condemnatoir (bisa dieksekusi), tergugat mengajukan kasasi.
Namun, MA pada putusannya tanggal 19 September 2017 menolak permohonan kasasi tergugat yang meminta MA agar perkara itu tidak bisa dieksekusi. Dengan demikian, perkara tersebut harus dieksekusi.
Karena merasa tidak jalan lain lagi dalam jalur hukum, tergugat meminta jalan damai dengan menitipkan uang konsinyasi di PN Bajawa sebesar Rp 2,5 miliar, namun PN Bajawa menolak permohonan tergugat.
Jalan damai buntu. Penggugat tidak mau lagi berdamai karena perjalanan perkasa sudah terlalu panjang, lama, dan melelahkan.
Setiap tahapan, penggugat selalu meminta untuk menempuh jalan damai tak pernah mengacuhkan.
Dengan demikian, eksekusi gedung DPRD Nagekeo harus segera dieksekusi.