News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Selain Ni Kadek Yang Tewas Kecelakaan, Puluhan Mahasiswa Bali Ogah Pulang Usai Magang di AS

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ni Kadek Ayu Ratih Sinta

TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Sejak menerima kabar mahasiswinya Ni Kadek Ayu Ratih Sinta (21) meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Miami, Amerika Serikat (AS), I Made Sudjana harus memutar otak ekstra keras.

Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional (STPBI) Denpasar ini sudah mengingatkan seluruh mahasiswanya agar tidak menjadi warga ilegal di negeri orang.

Namun, peringatan Sudjana itu seperti masuk ke telinga kanan, keluar telinga kiri alias tak diindahkan sejumlah mahasiswanya.

Baca: Ada Tanda Merah di Sekujur Tubuh Anak Gadis Sang Isu Syok Ternyata Ini yang Terjadi

"Padahal, kami dari pihak sekolah sudah mewanti-wanti mereka, tapi anak-anak ini aduh, saya sampai heran. Dibikin pusing kami. Mau kasihan tapi kok kesal gitu. Masalahnya ini mencoreng nama baik lembaga, nama baik Bali, juga Indonesia," kata Sudjana saat ditemui Tribun Bali di ruang kerjanya pekan lalu.

Hingga Tribun Bali menemui Sudjana pekan lalu, jenazah mahasiswinya yang magang di AS, Ratih Sinta, belum juga bisa dikirim ke Bali.

Padahal, kecelakaan yang mengakibatkan Ratih meninggal dunia sudah terjadi pada 14 Januari 2018 lalu atau sekitar sebulan lewat.

"Jadi, harus ada sertifikat kematian yang menyatakan bahwa orang itu mati. Pihak penerbangan juga kan tidak gampang membawa jenazah. Biar tidak ada masalah, biar steril dan tidak menimbulkan apa-apa nantinya," kata pria asal Tabanan ini.

Peristiwa yang menimpa Ratih Sinta membuka fakta baru bahwa saat ini pun masih ada puluhan warga Bali yang nekat berstatus ilegal di negeri orang.

Cukup banyak di antara mereka adalah mahasiswa STPBI. Para mahasiswa itu sesungguhnya berada di luar negeri (termasuk AS) untuk magang kerja sesuai program STPBI.

Namun, selesai magang, mereka tak kunjung pulang, justru memilih jadi pekerja ilegal di negeri orang karena tergiur gaji yang tinggi untuk ukuran Indonesia.

Berdasarkan data yang dibeberkan oleh PT Bali Duta Mandiri, jumlah mahasiswa STPBI yang diberangkatkan untuk training (khususnya ke Amerika Serikat) sekitar 300-an orang per tahun.

Dari jumlah tersebut, rata-rata yang tidak kembali antara 2-5 persen (6 hingga 15 orang) usai magang atau training di luar negeri.

PT Bali Duta Mandiri adalah perusahaan yang menangani urusan magang mahasiswa STPBI di luar negeri.

Berdasarkan data PT Bali Duta Mandiri, pada 2016 jumlah mahasiswa training yang diberangkatkannya ke AS sebanyak 235 orang. Dari jumlah tersebut, yang tidak kembali tercatat 16 orang. Jumlah ini lebih banyak daripada tahun 2015.

Pada 2015, PT Bali Duta Mandiri memberangkatkan 143 mahasiswa STPBI ke AS, dan yang tak kembali tercatat 8 orang.

Itu artinya, jika dihitung selama 2015 dan 2016 saja, ada 24 orang warga Bali yang berstatus ilegal di AS. Jumlah ini belum termasuk 20-an mahasiswa yang juga tidak kembali pada tahun-tahun sebelumnya.

"Sebelum kasus Ratih Sinta ini, ada mahasiswa kami yang tidak kembali juga. Jumlahnya 20-an orang. Makanya, kami sempat ditegur oleh Konsulat Jenderal (Konjen) Amerika di Denpasar. Akhirnya, kami perketat dengan mewajibkan mahasiswa yang jalani training di luar negeri untuk menaruh deposit mulai 2017. Saat Ratih training, belum ada program deposit itu. Ratih kan berangkat tahun 2016," kata Sudjana.

Sejak 2017, kata Sudjana, sebelum mahasiswa STPBI diberangkatkan training ke luar negeri, mereka diwajibkan membayar deposit sebesar Rp 40 juta.

Tujuannya, mahasiswa tersebut bisa kembali ke Indonesia dan melanjutkan kuliahnya. Selain itu, mahasiswa yang hendak magang beserta orangtuanya harus menandatangani perjanjian di depan notaris yang disertai cap jempol untuk kesanggupan pulang.

"Itu atas saran dari Konjen Amerika," kata Sudjana.

Sejak kasus meninggalnya Ratih, Sudjana mengaku sempat berkomunikasi dengan salah-satu kerabat dekat Ratih yang juga sudah lama tinggal di Amerika.

Menurut penuturan kerabat Ratih itu, sistem di Amerika dikatakan memang agak longgar, sehingga meskipun ilegal, seseorang tetap bisa bekerja.

"Asalkan warga ilegal itu tidak melanggar aturan lalu lintas dan tidak sampai masuk rumah sakit, dia aman. Cuma yang harus disadari, kan betapapun kuatnya, manusia pasti ada fase sakit dan lalai. Itu yang tidak dipikirkan. Warga ilegal itu sulit masuk rumah sakit. Karena pasti dimintai identitasnya," kata Sudjana.

Menurut Sudjana, banyaknya mahasiswa training yang pilih nekat jadi warga ilegal hanya karena ingin mencari duit cepat, dan bisa mengirimkan duit itu ke orangtua mereka setiap bulan.

Pernah Sudjana menanyai seorang mahasiswanya yang baru datang dari magang 12 bulan di AS.

"Waktu itu saya tanya `kamu bawa duit berapa pulang?` Dia jawab sedikit, pak. Berapa? Dia bilang Rp 250 juta, pak. Nah itu, jadi setahun dia bisa dapat Rp 250 juta. Itu baru magang. Kalau kerja kemungkinan lebih besar lagi," kata Sudjana.

Namun demikian, ia mengaku selalu mewanti-wanti mahasiswanya agar jangan melulu memikirkan duit. Sebab, ke depan, sertifikat yang didapat dari training sebetulnya sangat mendukung untuk digunakan mencari kerja di dalam negeri maupun luar negeri.

"Cuma saya gak ngerti, kenapa anak-anak ini maunya cepat dan instan," keluh Sudjana.

Sudjana mengatakan, saat ini bahkan pihaknya memperketat lagi soal training ke Amerika ini agar kasus sebelumnya tak terulang kembali.

Ia mengaku sudah berkoordinasi dengan Konjen Amerika agar perusahaan di sana tidak memberikan sertifikat training kepada mahasiswa magang di sana.

STPBI minta agar sertifikat dikirimkan ke kampus, sehingga mahasiswa terdorong untuk pulang pasca training guna mengambil sertifikat mereka.

Sebetulnya, lanjut Sudjana, pihaknya cuma mengurus soal pendidikan mahasiswa di STPBI. Urusan training dan mencarikan anak didik pekerjaan sudah dikerjasamakan dengan PT Bali Duta Mandiri.

Selalu Ada yang Nakal

Direktur Utama PT Bali Duta Mandiri (BDM), I Nyoman Gede Astina menjelaskan bahwa pihaknya adalah Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).

Perusahaannya, kata Astina, sudah mengantongi izin dari Kementerian Tenaga Kerja untuk mengirim tenaga kerja Indonesia (TKI) ke seluruh dunia.

"STPBI memberikan pelayanan pendidikan, mencarikan training di Bali maupun di luar Bali tapi masih di dalam negeri. Nah kalau training di luar Bali kami ditugaskan untuk mengurus. Setelah lulus, kami juga ditugaskan mencarikan mereka pekerjaan baik di darat maupun laut, misalnya di kapal pesiar," kata Astina saat diwawancarai di ruang kerjanya, Rabu (13/2) pekan lalu.

Jumlah mahasiswa yang diberangkatkan training PT DBM ke luar negeri sekitar 300-an orang setiap tahun.

Dari jumlah tersebut, 75 persen berasal dari STPBI, dan sisanya ada dari Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Nusa Dua, dan sejumlah sekolah tinggi pariwisata di luar Bali.

Astina menjelaskan, pihaknya bisa memberangkatkan mahasiswa untuk training ke Amerika Serikat (AS) lantaran Pemerintah Indonesia sudah menjalin kejasama dengan Pemerintah AS melalui Konsultan Jenderal (Konjen) AS di Surabaya.

Program ini dinamakan International Training Network (ITN). STPBI menjadi salah satu sekolah atau perguruan tinggi yang mendapatkan lisensi dalam kerjasama tersebut.

"Itulah otoritas yang memberikan kami fasilitas magang di sana. Tidak ada sekolah lain yang diberikan kecuali kami. Kami diberi kuota 1.000 orang tiap tahun untuk dikirim training di sana. Makanya, kami ajak sekolah lain juga, karena maksimum baru kami penuhi 300 orang. Kami ajak sekolah di Jogja, Surabaya, Jakarta, dan Bandung," jelas Astina.

Versi PT BDM, jumlah gaji yang diterima mahasiswa yang training di Amerika Serikat sebanyak 10-15 dolar AS per jam.

Mahasiswa yang dikirim ke Amerika rata-rata bekerja di hotel-hotel bintang lima di AS.

"Mereka training selama 12 bulan di sana. Per jam dibayar 10 (sekitar Rp 133 ribu) sampai 15 dolar AS (hampir Rp 200 ribu). Setelah setahun dia harus kembali ke sekolah untuk menyelesaikan kuliahnya," ungkapnya.

Syarat untuk bisa mengajukan diri mengikuti training ini, kata Astina, mahasiswa harus minimal sudah berada di semester tiga. Teknisnya, mahasiswa mengajukan permohonan untuk bisa mengikuti training ke PT BDM.

Setelah dites dan diverifikasi oleh tim dari Amerika Serikat, barulah mahasiswa tersebut dinyatakan boleh atau tidak mengikuti training di sana.

Dalam program ini, kata Astina, memang rata-rata ada mahasiswa yang `nakal` alias tidak pulang setelah kontrak dan visa mereka habis.

Akibatnya, si mahasiswa tersebut akhirnya menjadi warga ilegal di negeri orang, dan sangat berisiko ketika terjadi hal yang tidak diinginkan.

"Kasus yang meninggal itu, dia tidak pulang saat habis kontraknya, sehingga statusnya ilegal. Kalau ilegal, segala haknya sudah dilepas, misalnya asuransi dan sebagainya. Dengan demikian, pemulangannya pun bayar sendiri. Kami sudah selalu memberitahu anak-anak itu. Ketika sudah habis visa magangnya harus pulang, tapi ada yang nakal," kata Astina. (I Wayan Erwin Widyaswara)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini