TRIBUNNEWS.COM, BATURAJA -- Suka duka berpindah-pindah tempat tinggal sudah menjadi bagian dari hidup Sakri (71).
Bahkan pria yang sudah berusia senja ini mengaku pernah tidur dikandang sapi bersama isteri dan kedua puteranya.
Sebenarnya, saat diwawancarai Sripoku.com, Sakri dulu punya rumah, namun rumahnya sudah roboh setelah hampir 10 tahun ditinggal merantau ke Desa Pagardewa, Kecamatan Tanjungagung Kabupaten Muara Enim.
Di kabupaten tetangga ini, Sakri hidup bertani dan menemukan jodohnya saat usianya sudah menginjak 55 tahun.
Baca: Ada Tanda Merah di Sekujur Tubuh Anak Gadis Sang Ibu Syok Ternyata Ini yang Terjadi
Saat ditanya kenapa sampai menikah diusia yang sudah menginjak kepala lima, dengan polos ayah dua anak ini mengatakan latar belakang ekonomi dan berbagai faktor membuatnya sulit menemukan jodoh.
“Mane miskin, mane jahat, mane , ngatek pencarian pule.. untunglah Allah masih memberikan jodoh,” kata Sakri seraya tertawa polos.
Di Muaraenim, kehidupan Sakri tidak terlalu beruntung.
Kebun kopinya yang diusahakannya ternyata masuk dalam hutan kawasan sehingga dia harus pergi meninggalkan kebun kopi yang sedang produktif.
Dalam waktu bersamaan, rumah yang ditempatinya bersama keluarga dan mertuanya terbakar, seolah musibah demi musibah terus mendera kehidupan Sakri.
Tak lama kemudian, ibu mertuanya meninggal dunia.
Sakri memutuskan memboyong istri dan anak-anaknya kembali ke kampung halamannya di Desa Kesambirata, Kecamatan Pengandonan, Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Sampai Desa Kisambirate semua dimulai dari nol.
Karena tidak memiliki rumah lagi, mulailah Sakri dan keluargnya berpindah-pindah rumah menumpang dirumah warga yang kosong.
Pernah menempati rumah seorang warga bernama Ansori, kemudian pindah lagi ke rumah dikolam milik warga bernama Ali Uteh.
Bahkan pria ini mengaku pernah tidur dikandang sapi.
”Itu kandang sapi yang pernah kutempati, tapi sapinya sudah tidak ada, “ kata Sakri seraya menunjuk sebuah bangunan yang sudah hampir roboh tidak jauh dari gubuknya.
Kemudian Sakri dan keluarganya menempati rumah saudaranya yang bernama Rodam, namun itupun tidak lama karena rumahnya dijual.
Barulah Sakri membangun gubuk ditanah warisan dari orang tuanya berukuran 5 X 10 M.
Untuk biaya hidup sehari-hari, istri Sakri mencari kayu bakar dihutan-hutan sekitar desa.
Kayu bakar inilah yang kemudian dijual dengan harga Rp. 10 ribu /berunang.
Selain menjual kayu bakar, Sakri dan keluarga sering mendapat bantuan dari aparat desa, sanak saudara, dan jiran tetangga.
Diakui Sakri, dia sudah terbiasa hidup susah, yang pentingnya anak-anaknya bisa makan dan sekolah.
Bahkan Sakri pernah tidak makan nasi sebutirpun selama 1 hari, tapi kedua puteranya tetap makan.
Meskipun hidup dalam kekurangan, Sakri rajin beribadah.
Sakri tidak segan menumpang salat di teras rumah tetangga kalau tidak bisa pergi ke masjid.
Kedua puteranya juga tetap mengaji dan sudah hafal surat-surat di juz amma. (Sripoku.com/Leni Juwita)