Laporan Wartawan Tribun Medan, Jefri Susetio
TRIBUNNEWS.COM, KARO - Ratusan warga Selandi Lama, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang berjarak 3,5 kilometer dari puncak Gunung Sinabung merasa was-was.
Tidak kurang sembilan tahun belakangan ini mereka tidak bisa nyenyak tidur khawatir adanya erupsi besar.
"Liatlah kampung ini, kami tidak kuat lagi. Kami takut tidur malam karena khawatir mendadak Gunung Sinabung meletus. Rasanya gelisah dan was-was. Mau mandi saja takut. Desa ini berjarak 3,5 kilometer dari Gunung Sinabung," ujar Ani Beru Sembiring (37) kepada Tribun-Medan.com.
Ani bersama puluhan perempuan lain yang sedang bergotong royong bersihkan debu vulkanik menyapa reporter Tribun Medan/Tribun-Medan.com. Ia diminta warga kampung untuk menjelaskan kesulitan warga sejak sembilan tahun belakangan ini.
Baca: Ada Tanda Merah di Sekujur Tubuh Anak Gadis Sang Ibu Syok Ternyata Ini yang Terjadi
Ihwalnya, perempuan berkulit sawo matang ini cerita tentang pengalamannya menghadapi erupsi Gunung Sinabung. Namun, tiba-tiba, ia menyeka air mata yang mengalir di pipi saat menceritakan kehilangan mata pencarian karena tanaman sudah hancur.
Erupsi Gunung Sinabung pada Senin (19/2) telah meluluh-lantakkan lahan perhatian dan erupsi terbesar sejak 2010. Kala itu, selama tiga jam Desa Selandi Lama gelap gulita, dan hujan debu vulkanik bercampur material kericil kecil menerjang rumah.
Adapun tinggi kolom mencapai 5000 meter. Padahal biasanya hanya 2500 meter. Kemudian, jarak luncur awan panas ke arah Selatan-Tenggara mencapai 4500 meter. Karena itu, ada rasa ketakutan beraktivitas tinggal di desa itu.
"Saya lahir di sini, penduduk asli kampung ini. Rasanya, sangat sakit tinggal di sini. Sejak 2010 kehidupan kami susah. tanaman di ladang hancur, gagal panen. Selalu hancur tanaman kami. Kena debu sedikit hancur," katanya.
Setiap debu vulkanik Gunung Sinabung menerjang lahan pertanian, lanjutnya, warga terpaksa tidak bercocok tanam selama satu bulan. Apalagi, tanaman padi, tomat, jagung, bawang serta sayuran dipastikan mati.
Kemarin, Selasa (20/2) siang, Tribun Medan/Tribun-Medan.com melakukan berkeliling ke beberapa kecamatan yang tertutup debu vulkanik. Tapi, ketika sedang melintas di Desa Payung, Kecamatan Payung tiba-tiba dua orang pemuda yang mengendarai sepeda motor menyapa.
Selanjutnya, dua pemuda itu, memohon agar menilik Desa Selandi Lama yang tertutup debu vulkanik. Ada 120 kepala keluarga (KK) tidak bisa beraktivitas lantaran lahan pertanian sudah hancur. Bahkan, mereka tidak direlokasi ke tempat yang baru.
“Mas, tolong-lah liput kami dan melihat langsung kondisi desa. Kami tidak direlokasi dan tak dianggap sama Pemerintah. Padahal, desa kami berjarak 3,5 kilometer dari Gunung Sinabung. Kami hidup menderita terkena debu vulkanik," cetus seorang pemuda bermasker dan bertutup wajah pakai sarung.
Pemuda itu berujar, sebelum bertemu Tribun-Medan, ada puluhan warga melayangkan protes di Kantor Camat Payung. Mereka kesal, tidak ada kepedulian dari Pemkab Karo untuk menyiram debu yang menutupi rumah dan perkampungan.
"Kami barusan mendatangi kantor Camat Payung untuk protes. Enggak ada peduli Pemerintah sama kami. Mas datang dulu melihat langsung desa kami," katanya melanjutkan pembicaraan.
Usai mendengar penjelasan itu, Tribun Medan bergegas menuju Desa Selandi Lama yang berjarak tidak kurang dua kilometer dari jalan besar. Tidak gampang menuju perkampungan itu karena jarak pandang minim.
Lebih lanjut, badan jalan kecil, dan berliku-liku, pengendara melewati jalan yang meliuk-liuk serta berbatasan dengan sungai serta jurang. Karena itu, laju kendaraan tidak bisa kencang serta butuh kewaspadaan.
Selama berkeliling di Desa Selandi Baru, Tribun Medan didampingi dua warga Arman Bangun (48) dan Pardin Sembiring (42). Kedua warga itu memperlihatkan kondisi permukiman warga yang jauh dari sehat. Seluruh rumah tertutup debu vulkanik berkisar 10 inci.
Tidak hanya itu, banyak genteng rumah jebol lantaran dihantam material Gunung Sinabung seperti debu dan batu kericil. Namun, warga terpaksa bertahan hidup alias tidak meninggalkan kampung lantaran terbentur biaya.
Mandi di Aliran Lahar Dingin
Setelah memperlihatkan kondisi permukiman warga di Desa Selandi Baru, Arman dan Pardin membawa kami ke bagian ujung kampung. Kemudian, mereka memperlihatkan turunan yang berjarak lima meter ke bawah.
Setelah itu, Tribun Medan bersama dua warga menuruni anak tangga terbuat dari bambu, ada kurang dari 50 anak tangga. Setiba di bawah, ada dua corong bambu kuning yang didesai untuk tempat air mengalir. Air yang mengalirpun cukup deras.
Suhu di dasar sungai dan bagian ujung pemukiman warga terasa panas, hanya sekejap Tribun Medan bersama warga bermandikan keringat. Bahkan, warga meminta untuk tidak berlama-lama berada di zona berbahaya itu.
“Dulu sungainya berjarak lima meter namun seringnya lahar dingin menerjang kini sungai sudah berjarak puluhan meter. Kamar mandi umum warga pun sudah ambruk diterjang banjir lahar dingin,” ujar Arman Bangun kepada Tribun Medan.
Arman menambahkan, warga tidak berani mandi ataupun mencuci pakaian bila langit mendung. Apalagi, terkadang cuaca sulit diprediksi karena hujan di puncak gunung hujan belum tentu berbarengan di perkampungan warga.
Arman Bangun menambahkan, tidak banyak orang yang mengenal Desa Selandi Lama lantaran jaraknya cukup jauh. Dari jalan besar kecamatan berjarak 1,4 kilometer ke dalam. Biasanya, orang hanya mengenal Desa Perbaji.
Bila ingin menuju Desa Selandi Lama, memang harus melewati Desa Perbaji. Artinya, tidak ada alternatif jalan lain. Penghasilan utama warga dari bercocok tanam seperti menanam kopi, tomat, bawang, cabai serta sayuran.
Tapi, sejak beberapa tahun belakangan ini, banyak warga bekerja sebagai buruh tani di desa lain lantaran lahan pertanian mereka hancur diguyur hujan debu vulkanik. Dari 120 kepala keluarga yang bermukim ada 110 rumah yang kondisinya cukup memperhatinkan.
“Banyak rumah yang kondisinya cukup memperhatikan karena seng rumah sudah rapuh. Entah mengapa kami tidak diungsikan oleh pemerintah walaupun kabar yang beredar desa ini masuk zona merah,” katanya.
Desa Selandi Lama berjarak tidak kurang empat kilometer dari puncak Gunung Sinabung, jadi tidak berbeda dengan desa lain. Seperti Desa Guru Kinayan (Gurki) yang sudah direlokasi oleh Pemerintah Karo. Karena itu, warga meminta solusi dari pemerintah.
Ia mengklaim, seluruh warga telah sepakat manut bila pemerintah merelokasi alias meminta keluar dari perkampungan. Apalagi, selama ini mereka hidup dengan perasaan resah dan cemas bila sewaktu-waktu Gunung Sinabung meletus.
Sementara itu, warga lainnya, Budi Sembiring (56) menyatakan, Desa Selandi Lama tidak layak jadi tempat tinggal. Oleh sebab itu, ia bermohon seluruh warga diungsikan ke tempat baru yang lebih aman serta jauh dari Gunung Sinabung.
“Jadi, kami minta tolong diberikan tempat baru agar anak-anak sekolah tidak ada hambatan. Kami ingin dikumpulkan dalam satu titik bukan meminta bantuan dari pemerintah. Dari segi kesehatan harus dapat perhatian. Sedangkan lahan pertanian sudah total hancur, tidak mungkin lagi dikerjakan atau digarap,” ujarnya.
Ia mengeluhkan tebalnya debu vulkanik mengakibatkan warga tidak bebas bergerak serta mengganggu kesehatan warga terutama anak-anak. Oleh sebab itu, mereka melayangkan protes karena pemerintah tidak melakukan penyiraman di permukiman warga.
Lebih dari itu, warga semakin resah bila hujan deras mengguyur kawasan puncak Gunung Sinabung maupun permukiman. Apalagi, lokasi desa berdekatan dengan sungai aliran lahar dingin. Bahkan, bila ingin menuju desa harus melewati kawasan aliran lahar dingin.
“Mau keluar desa juga harus melewati aliran lahar dingin, sehingga terkepung lahar dingin. Walaupun gunung tidak erupsi namun lahar dingin tetap turun ke sini. Pernah kami terkejut dan anak-anak menangis histeris karena di atas hujan sedangkan di bawah tidak ada,” katanya.
Sementara itu, Kepala BPBD Karo, Martin Sitepu membantah pernyataan warga yang mengklaim Desa Selandi Lama masuk ke dalam zona merah. Meskipun demikian, ia tidak memberikan penjelasan tentang jarak antara desa dengan puncak gunung.
“Memang tidak ada direlokasi, satu orang pun tidak ada kami relokasi dari perkampungan. Kawasan itu, tidak masuk zona merah, di sana lebih dari empat kilometer ke puncak Gunung Sinabung. Kalau masalah zona merah itu koordinasi saja dengan badan vulkanologi, yang mengukur bukan kami,” ujarnya.
Dalam peta bagaimana letak Desa Selandi Lama ? Tanya Tribun Medan, ia menyatakan, di dalam peta bencana Gunung Sinabung, Desa Selandi Lama bukan termasuk dalam zona merah. Artinya, kawasan itu aman alias tidak berbahaya.
“Jadi, memang sudah ada petanya. Desa Selandi Lama bukan masuk zona merah. Tidak ada zona merah. Desa Mardinding baru masuk zona merah. Ada 76 desa yang terkena dampak debu vulkanik, sehingga tidak bisa sekaligus dibersihkan, jadi kami menangani bertahap,” katanya.
Namun, ia tidak memberikan jawaban yang mendetail saat ditanya tentang kondisi desa yang dikepung aliran lahar dingin. Kala itu, dia meminta Tribun Medan untuk melakukan wawancara bila ia selesai menghadiri acara di Bali.
“Ya. Desa itu berbatasan dengan aliran lahar dingin, tolonglah nanti dikonfirmasi saja. Saya harus Rakernas ke Bali,” ungkapnya.