Dulu mereka dikenal sebagai anggota Hansip. Berseragam hijau muda lengkap dengan topi dan bersepatu boot serta beragam atribut yang dikenakan, mereka biasanya hadir di tengah kegiatan warga di sebuah wilayah. Biasanya pula mereka membantu menjaga keamanan dan ketertiban, supaya kegiatan yang dilakukan masyarakat berjalan lancar.
Memiliki tugas dan penampilan yang sama, kini mereka disebut anggota Perlindungan Masyarakat atau Linmas. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2014, Linmas adalah organisasi yang dibentuk oleh pemerintah desa/kelurahan yang beranggotakan warga masyarakat.
Dipimpin oleh Kepala Desa atau Lurah sebagai Kepala Satuan Linmas, organisasi ini memiliki Kepala Satuan Tugas yang membawahi lima Komandan Regu. Setiap regu membidangi urusannya masing-masing.
Ada lima urusan atau bidang tugas yang ditangani Linmas. Masing-masing urusan seperti kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini, urusan pengamanan, urusan pertolongan pertama pada korban dan kebakaran, urusan penyelamatan dan evakuasi serta urusan dapur umum.
Berdasarkan Permendagri itu pula, anggota Linmas yang direkrut oleh Kepala Desa atau Lurah, disyaratkan berpendidikan minimal SLTP atau sederajat, berusia minimal 18 tahun dan dapat bertugas sampai usia 60 tahun, atau diberhentikan oleh sebab beberapa alasan. Linmas ini juga sifat keanggotaannya sukarela alias tanpa paksaan.
Di Kota Bogor berdasarkan pendataan tahun 2014, jumlah anggota Linmas tercatat 3.898 orang.
“Dari jumlah tersebut tidak semuanya merupakan anggota aktif,” kata Tri Ongko, Kepala Bidang Trantib dan Linmas, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor.
Hal itu karena sebagian diantaranya sudah relatif tergolong berusia lanjut. Saat ini keanggotaan Linmas di wilayah Kota Bogor sedang didata ulang.
Sejak tahun 2011, Satpol PP Kota Bogor, memang diamanahi tugas sebagai pembina Linmas. Untuk itu Satpol PP telah menyusun program pembinaan dengan beberapa kali kegiatan, termasuk kegiatan auting.
“Tahun lalu kami mengikutsertakan sebagian anggota Linmas dalam program pelatihan,” ungkap Ongko.
Pada kegiatan itu setiap anggota Linmas dibekali pengetahuan tentang keamanan dan ketertiban. Juga dilatih keterampilan mengatasi bencana termasuk menangani warga yang menjadi korban bencana alam.
Menurut Ongko, pada dasarnya satuan Linmas terdiri dari para sukarelawan yang bisa diminta jasanya untuk membantu anggota masyarakat.
“Bantuan yang mereka berikan bisa macam-macam dan untuk berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat,” tambah Ongko.
Itu sebabnya setiap anggota Linmas perlu dibekali banyak pengetahuan dan keterampilan. Pembinaan yang dilakukan Satpol PP tidak hanya terbatas dalam kegiatan di kelas dan auting.
“Pada saat kami melakukan kegiatan trantib di wilayah, kami selalu menyertakan para anggota Linmas,” jelas Ongko.
Hal itu dilakukan untuk memberi pengetahuan dan sekaligus pengalaman serta menambah rasa percaya diri anggota Linmas. Sebab mereka perlu lebih memahami pelanggaran-pelanggaran peraturan yang dilakukan masyarakat. Diantaranya seperti pelanggaran pemanfaatan lahan publik untuk kegiatan usaha.
Ongko menilai, para anggota Linmas biasanya adalah aparat desa atau kelurahan yang paling tanggap dan mengetahui dengan baik situasi dan kondisi wilayahnya. Oleh karena itu para anggota Linmas dinilainya sebagai pihak yang cocok untuk dilibatkan dalam berbagai kegiatan di wilayah. Tidak hanya terkait dengan soal keamanan dan ketertiban, tetapi juga dalam kegiatan yang terkait dengan kegiatan-kegiatan sosial dan sebagainya.
Dalam kaitan itulah, pada penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada nanti, para anggota Linmas biasanya dilibatkan sebagai Pengawalan Langsung (Pamsung). Untuk itu mereka akan diikutsertakan di dalam kegiatan pelatihan terkait penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Kegiatan diklat seperti itu biasanya diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
“Sebagai Pamsung, para anggota Linmas harus tahu dan paham tentang tata cara penyelenggaraan pemungutan suara, sehingga diharapkan mereka bisa mengantisipasi kemungkinan munculnya masalah dan sekaligus mengatasi jika memang ada masalah pada kegiatan pemungutan suara,” jelas Ongko.
Pentingnya peran para anggota Linmas terutama dalam membantu setiap kegiatan kemasyarakatan di wilayah, sayangnya tidak sebanding dengan kesan yang melekat di masyarakat tetang anggota Linmas.
“Di banyak sinetron misalnya kita sering melihat para anggota Linmas yang digambarkan sebagai sosok yang mudah dibohongi, dikerjai dan jadi bahan tertawaan,” katanya dengan prihatin.
“Penggambaran tentang sosok anggota Linmas seperti itu perlu diperbaiki,” lanjutnya, sebab merugikan citra para anggota Linmas sebagai orang-orang yang selalu siap membantu masyarakat.
Oleh karena itu Ongko berharap, ketika pada kenyataannya para anggota Linmas menjadi tenaga kerja yang tidak bergaji, maka sudah sewajarnya apabila masyarakat mengapresiasi peran dan kerja mereka.
“Mereka perlu pengakuan tidak hanya dari pemerintah, melainkan juga dari masyarakat,” jelasnya.
Sejauh ini memang belum setiap anggota Linmas mendapatkan honorarium tetap dan pasti. Hal itu tergantung dari kemampuan keuangan masing-masing pemerintah daerah. Tetapi Permendagri Nomor 84 telah mengamanatkan, “Pendanaan untuk penyelenggaraan perlindungan masyarakat dibebankan pada APBN, APBD Provinsi, APBD Kota/Kabupaten serta lain-lain pendapatan yang sah dan tidak mengikat.” Semoga amanah itu kedepannya bisa terealisasi pada setiap anggota Linmas. (*)