News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemprov Kaltim Kesulitan Cari Investor, Aset Senilai Rp 25,3 Triliun Belum Dikelola Maksimal

Editor: Sugiyarto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tari Hudoq yang dibawakan seniman Dayak Bahau di pentaskan dalam Ritual Bersih Bumi sebagai program unjuk rasa Forum Pelangi, Kaltim Bukan Kloset di Dermaga seberang Kantor Gubernur Pemprov Kaltim, Kamis (28/4) Ritual bersih bumi untuk keselamatan pangan Kaltim yang terancam akibat aktifitas pertambangan batu bara.

TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA ‑ Memiliki aset tetap hingga 3 kali lipat besaran APBD Kaltim 2018, sampai saat ini Pemprov Kaltim masih berpikir keras memaksimalkan aset agar bisa mendulang rupiah ke Pendapatan Aset Daerah (PAD).

Diketahui, dari data Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah yang diterima Tribun, jumlah aset total Pemprov senilai Rp 25,3 triliun.

Aset tersebut digolongkan dalam 7 kategori, yakni tanah, peralatan dan mesin, gedung/bangunan, jalan/irigasi/jaringan, aset tetap lainnya, serta aset dalam konstruksi pengerjaan.

Aset jalan, gedung dan bangunan menjadi aset paling tinggi nilainya. Ditotal, untuk aset jalan dan gedung saja, senilai Rp 15 triliun.

"Kalau aset‑aset sebenarnya sudah digunakan. Memang masih ada yang belum digunakan maksimal," ucap Fathul Halim, Kepala BPKAD Kaltim, saat dikonfirmasi Jumat lalu.

Bagaimana pengelolaan aset‑aset tersebut digolongkan menjadi tiga macam. "Pertama digunakan masing‑masing OPD."

"Misalnya, Education Center di Disdik. Stadion Olahraga oleh Dispora. Ada pula yang disertakan modal dan dihandle Perusda Pemprov, seperti Hotel Pandurata di Jakarta."

"Terakhir, yakni dikerjasamakan ke pihak ketiga. Ini sedang dikerjakan, seperti rencana Convention Hall serta Hotel Atlet yang akan ditawarkan ke pihak ketiga," ucapnya.

Bagaimana proses pengelolaan aset‑aset tersebut, ikut dijelaskan Fathul Halim lebih lanjut.

Diakuinya, ada beberapa persoalan mengapa pengelolaan aset yang bisa mendulang PAD belum terasa maksimal.

"Pertama, harus dipisahkan dahulu, aset‑aset mana yang bisa mendatangkan PAD. Kalau aset berupa gedung perkantoran, jalan, serta lainnya kan agak sulit dijadikan untuk sumber PAD, karena aset tersebut sudah dipakai pemerintah."

"Aset yang bisa datangkan PAD, otomatis berupa gedung, bangunan, tanah idle yang sampai saat ini masih belum dipergunakan pemerintah."

"Pertama, jika aset tersebut dikelola oleh OPD, maka dituntut OPD yang kreatif memaksimalkan
aset‑aset. Ini agak sulit, karena OPD juga bukanlah pihak yang ahli dalam memaksimalkan aset," ucapnya.

Jika pun aset tersebut dikelola oleh Perusda, maka sumber dana juga ikut menjadi halangan.

Pasalnya, untuk Perusda sendiri, dana yang masuk lebih banyak berupa aset, bukanlah dana tunai, sehingga perputaran uang sedikit sulit, akibat modal Perusda berupa uang tunai, tidaklah banyak.

Cara terakhir, adalah melalui pihak ketiga. Namun, inipun bukan tanpa persoalan. Minimnya pihak ketiga yang mau bergabung dan sesuai dengan penawaran Pemprov juga jadi alasan, aset belum terkelola maksimal.

"Itu juga. Kemarin saja, ada pihak ketiga yang mau kelola Convention Hall dan juga Hotel Atlet itu, kami sudah alhamdulillah sekali," ucapnya.

Pengelolaan aset gedung dan bangunan ikut dijelaskan Adhiyat, Kepala Biro Umum Pemprov Kaltim.

Biro umum, termasuk salah satu pengelola aset Pemprov. Satu diantaranya adalah Convention Hall di Sempaja Samarinda.

"Kami kelola beberapa aset, misalnya Mess di Balikpapan, Convention Hall Samarinda. Ada juga gudang. Pokoknya Biro Umum ini selaku pengguna barang."

"Asetnya milik BPKAD, tetapi penggunaannya adalah Biro Umum. Pemanfaatan aset diatur oleh tim, meliputi Biro Umum, Dispenda."

"Misalnya penggunaan CH dilakukan iuran penyewaan dengan adanya Pergub. Sewa di CH itu sudah ada tarifnya, sesuai sewa umum,pemerintah, atau pribadi. Beda harganya. Itu diatur di Pergub. Harga sewanya di bawah Rp 50 juta/ sekali sewa," ucapnya.

Tak banyak pihak ketiga (investor) yang mau bergabung dalam pengelolaan aset Pemprov juga ikut dijelaskannya.

"Memang agak sulit mencari pihak ketiga. Kami kan juga iklankan penawaran melalui media cetak untuk kerjasama pengelolaan. Seperti yang terjadi di pengelolaan CH dan juga Hotel Atlet."

"Sudah kami ajukan promosi, hanya satu yang memenuhi syarat. Sementara penawaran lain, tak masuk dalam rencana pembagian keuntungan kami," ucapnya.

Dosen Ilmu Ekonomi Unmul, Warsilan, ikut menjelaskan terkait pembagian penerimaan daerah yang jomplang antara pajak daerah dengan retribusi jasa usaha tersebut.

"Kalau dibandingkan, memang tidak apple to apple. Pajak daerah kan sifatnya wajib, harus dibayarkan, sementara retribusi jasa usaha, kan di sana ada situasi sama‑sama menguntungkan."

"Tidak wajib. Pemerintah selaku pemilik aset, mendapatkan biaya dari penyewa aset, karena ada asas saling membutuhkan."

"Tetapi, sebenarnya, bisa saja, persentase pajak daerah serta retribusi jasa usaha tersebut nilainya sama‑sama besar. Ini tergantung dari kondisi ekonomi daerah."

"Di Jakarta misalnya, dengan pola ekonomi jasa usaha yang begitu besar, penerimaan retribusi jasa usahanya juga cukup besar," ucapnya.

Terkait belum begitu besarnya penerimaan dari pemanfaatan aset, disebutnya kembali pada pada pola kreatifitas pemilik aset. Sampai saat ini, pola pikir mencari keuntungan dari aset‑aset yang ada belum begitu terlihat.

"Misalnya, aset dihandle oleh OPD atau Perusda pemerintah. Tetapi, pelaku dari OPD serta Perusda juga bukan pelaku murni yang banyak berkecimpung di dunia usaha. Ini membuat mereka kurang pengalaman."

"Kurang pengalaman berimbas pada kurangnya penerimaan yang masuk. Selain itu, ada kesan menunggu saja. Sehingga pemilik aset Pemprov baik itu OPD ataupun Perusda, terlihat hanya menjalankan tugas, tetapi tidak berpikir pada keuntungan lebih lanjut," ucapnya.

Solusi akhir adalah pada kerjasama antar pihak ketiga. Disampaikan Warsilan, hal ini sebenarnya bisa dilakukan jika memang ada prospek bisnis yang terlihat nyata bagi para pihak ketiga.

"Kalau persoalannya pihak ketiga enggan masuk kerjasama, berarti ada kemugkinan prospek bisnis dari kerjasama aset itu belum dilihat pihak ketiga. Sehingga mereka enggan."

"Misalnya, ingin kerjasama aset PON, tetapi peminatnya siapa? Belum lagi, ada pertimbangan pihak ketiga harus pula setorkan modal sebelum kelola aset. Itu juga jadi persoalan. Itu belum lagi soal izin dan yang lain‑lain, sehingga pihak ketiga juga sulit masuk," ucapnya. (anj)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini