TRIBUN-VIDEO.COM - Setiap harinya, sejumlah murid dari SD SDN 101976, di Desa Bandar Kuala, Kecamatan Galang, Deliserdang, Sumatera Utara, harus melintasi Sungai Buaya yang berarus deras, demi bisa hadir di sekolah.
Tanpa kapal penyeberangan, sampan, perahu, bahkan rakit sekalipun tidak ada sebagai alat angkut, sehingga mereka berjalan melintasi derasnya arus sungai demi menuntut ilmu. Resikonya, mereka yang masih tergolong anak-anak bisa saja terseret arus, lalu hanyut.
Begitulah getiran hidup untuk meraih cita-cita generasi penerus dari Desa Manggis, Dusun III Buntu Bulat, Kecamatan Serba Jadi, Kabutapen Serdangbedagai, Sumatera Utara.
Ada sekitar 40 kepala keluarga tinggal di Desa Manggis. Tidak ada kendaraan bermotor atau pun mobil sebagai sarana transportasi mereka untuk mendatangi sekolah yang terletak di kabupaten yang berbeda.
Modal mereka untuk menyeberang, adalah lima belas potong bambu yang disatukan menjadi rakit. Itupun bisa digunakan, setelah sebelumnya mereka menceburkan diri ke sungai demi mendekati rakit.
Sungai tersebut konon dulunya dipenuhi oleh buaya, sehingga dinamakan Sungai Buaya. Sungai itu adalah batas yang memisahkan Kabupaten Deliserdang dan KAbupaten Serdangbedagai.
Dari pantauan Tribun Medan, Senin (19/3/2018), keseharian anak-anak sekolah di Dusun III Buntu Bulat berangkat sekolah sekitar pukul 06.30 WIB.
Perwakilan orangtua biasanya menunggu di pinggir sungai untuk menyeberangkan murid-murid menaiki rakit. Namun, ketika pulang sekolah, para orangtua yang sibuk bekerja sering kali tidak sempat menjemput anak-anak.
Salah satu bocah yang terpaksa mengambil resiko hanyut terbawa arus demi bisa bersekolah, adalah Diki Damanik. Bocah yang masih duduk di bangku kelas V SD ini tak segan-segan turun ke sungai, dan menarik rakit agar menjauh dari pinggir sungai sebelum dinaiki.
"Kadang orangtua enggak bisa jemput. Jadi, kami lah yang bawa rakitnya sendiri," kata Diki yang terlihat asik bermain air sambil berpegangan pada rakit.
Saat melewati sungai, kondisi rakit sangat lah rawan. Rakit bergoyang-goyang ke kiri dan kanan dikarenakan arus sungai yang begitu deras. Raut wajah anak sekolah perempuan yang tadinya ceria sekita berubah menjadi tegang ketika di atas rakit.
"Rakitnya sering goyang. Makanya kalau sudah di tengah sungai, kami saling berpegangan agar tidak jatuh," ujar siswi kelas Sania yang duduk di kelas VI.
Baca: Kartu Indonesia Sehat Tidak Berguna Bagi Korban Bom Bali, Chusnul Khotimah
Baca: Jaksa KPK Mengakui Sebelumnya Setnov Tidak Pernah Menyebut Nama Puan Maharani dan Pramono Anung
Walaupun setiap hari sekolah ia menempuh resiko yang sama, namun bukan berarti ia tidak takut. Anak itu mengaku tidak bisa berenang, namun ia tidak punya pilihan lain.
Kalaupun sungai tengah surut, ancaman tenggelam masih menghantui. Pasalnya dasar sungai itu adalah tanah yang lembek, yang menurutnya sangat mungkin menyebabkan seseorang terjerembab.
"Enggak bisa berenang. Udah gitu, sungainya deras dan tanahnya sangat lembek. Jadi kalau diinjak bisa tenggelam kami. Takut saya terbalik rakitnya," ujar Sania lagi.
Untuk keselamatan anak sekolah ketika menyeberangi sungai, rakit diikatkan pada kabel yang memanjang mulai dari Desa Bandar Kuala hingga Dusun III Buntu Bulat. Dengan tambahan katrol yang bertujuan untuk mempermudah mengendarai rakit, sehingga rakit tidak akan hanyut ke hilir.(ase)