TRIBUNNEWS.COM, ACEH TIMUR - Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Marzuki Daham menilai, musibah kebakaran yang menewaskan 19 orang itu lebih dikarenakan tidak diterapkannya prinsip-prinsip atau kaidah pengeboran minyak yang aman oleh para pencari minyak.
"Misalnya, alat pengeborannya tidak standar, keamanannya pun sama sekali tak ada. Dampaknya terhadap lingkungan pun tak ikut diperhitungkan dan diantisipasi. Pendeknya, pengobaran seperti itu benar-benar di luar kaidah-kaidah pengeboran minyak yang aman,” kata Marzuki yang kemarin sedang berada di Jakarta.
Baca: Mobil Pembawa Uang ATM di Nusa Dua Dirampok
Menurutnya, hal seperti ini tak boleh terus dibiarkan karena berpeluang mengundang musibah atau petaka serupa. Marzuki meminta pihak berwenang menertibkan kawasan itu, mengingat di Ranto Peureulak memang banyak terdapat sumur minyak tua. Apakah itu peninggalan Belanda ataupun eks Asamera.
Secara teritorial, kata Marzuki, sumber-sumber minyak dan gas di wilayah Ranto Peureulak termasuk dalam wilayah kerja Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi).
Tapi setelah dibentuk Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) tahun 2015, sumur-sumur minyak di Ranto Peureulak dan Kuala Simpang sudah sewajarnya masuk ke wilayah kerja BPMA.
"Nah, menurut UUPA dan PP Nomor 23 Tahun 2015 kita berhak mengelola sumber-sumber minyak dan gas di Aceh dan semua itu menjadi tanggung jawab kita. Khusus di wilayah sumur yang terbakar itu sedang dibicarakan step-step-nya untuk dikelola sendiri oleh BPMA. Tapi di saat proses pengalihannya belum terlaksana, tiba-tiba sudah terjadi kebakaran di sumur tersebut," kata Marzuki.
Begitu kebakaran terjadi, lanjut Marzuki Daham, ia langsung meminta bantu pihak Medco untuk mengatasinya, mengingat Kantor Perwakilan Medco hanya berjarak 1,5 jam dari lokasi kebakaran.
Pihak Medco bahkan sudah merancang skenario penanganan. Namun, menjelang sore kemarin penanganan sumur yang terbakar itu diserahkan sepenuhnya kepada Pertamina EP.
Sedangkan Medco hanya diposisikan sebagai tenaga pendukung (back up) dalam upaya pemadaman api beberapa hari ke depan.
Bukan kasus pertama
Iskandar Usman Al-Farlaky selaku putra daerah Ranto Peureulak mengatakan, ledakan sumur minyak yang dikelola secara tradisional di Gampong Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, Rabu (25/4) dini hari, bukanlah kasus pertama yang terjadi di daerah itu.
Hanya saja, sebelumnya tidak separah ledakan yang terjadi kali ini.
"Dalam catatan saya setidaknya ada tiga kasus serupa yang terjadi sejak 2015. Tapi, ini yang paling besar dan paling banyak jumlah korbannya," kata Iskandar kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (25/4).
Iskandar yang juga Anggota DPRA ini merincikan, kasus pertama dan kedua pada 2015 dan 2017 korbannya masing-masing satu orang.
Selain di Pasir Putih, menurutunya, pengeboran sumur minyak tradisional juga dilakukan di gampong lain dalam kecamatan yang sama seperti Gampong Bhom Lama, Seuneubok Dalam, Pulo Blang, Mata Ie, dan beberapa kawasan lain yang ada jalur endapan minyak berdekatan dengan telaga peninggalan Belanda dan eks Asamera.
"Selama ini masyarakat setempat menggantungkan hidupnya pada pengeboran minyak secara tradisional ini. Mereka merakit sendiri alat pengeboran. Setelah mengebor 50 sampai 70 batang pipa barulah didapat minyak," kata Iskandar.
Dalam sehari, sebutnya, warga bisa memperoleh 5-25 drum minyak dengan harga satu drum Rp 600.000. Lalu minyak itu dijual kepada perusahaan Asphalt Mixing Plant (AMP) yang ada di Aceh Timur dan Sumatera Utara.(dik/mas)