TRIBUNNEWS.COM, JEMBER - Manihot eskulenta, begitu nama latinnya. Tanaman yang akrab disebut singkong, selama ini seakan "kalah" pamor dengan makanan pokok masyarakat Indonesia pada umumnya yakni nasi yang berasal dari tanaman padi.
Stigma singkong menjadi makanan kelas dua. Persepsi yang melekat pada tanaman jenis ubi-ubian ini sebagai makanan penduduk ekonomi rendah alias bahan pangan murah. yang kurang bernilai.
Kesalahan persepsi yang menyebutkan makanan pokok hanya bersumber dari nasi, menjadi penyebab kurang beragamnya pola konsumsi makanan pokok di Indonesia.
Hal tersebut membuat seorang akademisi asal Universitas Jember (Unej), prihatin dengan kondisi tersebut.
Adalah Prof Ir Achmad Subagio MAgr PhD yang membuat penemuan bernama Modified Cassava Flour (Mocaf) untuk mengubah stigma negatif terhadap singkong dalam hal makanan pokok,
Setelah menyelesaikan Short Course di Belanda dan Inggris pada 2004, Subagio memimpikan untuk menjadikan singkong sebagai bahan baku berbagai produk pati dan turunannya, seperti halnya kentang di Belanda.
Mocaf sendiri adalah tepung singkong yang telah termodifikasi dengan fermentasi. Tepung Mocaf ini dapat mengganti terigu, tapioka, tepung beras dan tepung ketan yang secara harga lebih mahal.
Subagio berpikir, negara ini adalah negara besar dengan pertumbuhan dan pertambahan penduduk yang tinggi. Tentunya penduduk memerlukan kebutuhan pangan yang besar, dan sayang jika hanya tergantung pada beras.
Apalagi jika terus menerus terjadi akan meningkatkan impor yang besar. Karena itulah dia memikirkan sumber pangan alternatif yang bisa dijangkau masyarakat.
Sebelum memutuskan meneliti singkong, dia pun sempat memusatkan perhatian kepada kacang koro dan ubi jalar.
“Saya melihat ada kesalahan pola konsumsi makanan pokok yakni beras. Padahal, singkong sebenarnya bisa hadir sebagai solusi dominasi beras dan pola konsumsi masyarakat bisa lebih beragam,” terang Subagio ketika ditemui di ruangannya di LP2M Universitas Negeri Jember, Rabu (9/5/2018).
Subagio ngin mengubah persepsi dan opini masyarakat ini. Bahwa singkong bisa naik ‘kelas’ dan tidak hanya dijumpai dalam bentuk yang ada sekarang ini.
Bahwa, ia mengklaim tepung Mocafnya itu bisa membuat lidah pangling. Rasanya tidak seperti singkong.
“Bagaimana caranya agar kesan singkong itu hilang, terbebas dari cita rasa singkong, sehingga singkong bisa lebih bernilai” ujarnya.
Berangkat dari hal tersebut, Akhirnya Subagio mengembangkan sistem produksi di Kabupaten Trenggalek pada 2006, dari pembentukan koperasi, pembentukan klaster dan sistem bisnis melibatkan jaringan kelompok tani.
Teknik tersebut ia sebar ke seluruh nusantara. Saat ini pabrik Mocaf telah berdiri di Solo dengan kapasitas 1.000 ton/bulan.
Kehadiran pabrik pengolah Mocaf menyebabkan munculnya berbagai jenis usaha yang juga dibinanya yakni bengkel, anyaman bambu, penjual singkong dan pengolahan kue.
PT Bangkit Cassava Mandiri yang berpusat di Solo itu saat ini melibatkan ribuan tenaga kerja yang tersebar di cluster-cluster du Jawa dan Kalimantan.
Mocaf sendiri adalah tepung singkong yang dapat digunakan sebagai bahan dasar berbagai olahan makanan. Seperti kue, mie, bakso dan berbagai makanan lainnya.
Karya fenomenalnya ini akhirnya dinobatkan menjadi salah satu dari 19 Karya Unggulan Teknologi Anak Bangsa oleh Kementrian RISTEK pada 2014 lalu. Dari hal itu, Subagio memiliki julukan sebagai Dukun Singkong.
Yayasan Kergaman Hayati Indonesia, memberikan Anugerah Cipta Lestari pada Kehati Award VII tahun 2015.
Subagio terus berjuang agar Mocaf menjadi salah satu slot pangan nasional sederajat dengan beras, terigu dan jagung.
Dedikasi ini dipersembahkan untuk mengokohkan kedaulatan pangan nasional, sekaligus menyejahterakan petani dan masyarakat pedesaan.