TRIBUNNEWS.COM, SLEMANĀ - Erupsi freatik Gunung Merapi, Jumat (11/5/2018) kemarin, tampaknya tak akan pernah dilupakan Stefanus Willyanto Ruslan ini.
Pendaki berusia 20 tahun ituĀ melihat bumbungan asap pekat keluar dari puncak Gunung Merapi, dengan mata kepalanya sendiri.
Pemuda asal Pemalang ini kemudian bersedia membagi kisah langka ini pada reporter Tribunjogja.com pada Jumat malam.
Stefanus bersama enam temannya berangkat dari basecamp mereka di kawasan Demangan pada pukul 19.00 WIB.
Mereka tiba di Pos Selo sekitar pukul 21.00 WIB dan kemudian melakukan registrasi, barulah mulai mendaki pada pukul 21.15 WIB.
Seorang anggota wanita rombongan ini tak kuat meneruskan pendakian dan menyerah di pos satu.
Pendakian dilanjutkan dengan enam anggota.
Sebelum Batu Gajah, rombongan teman sekelas ini berhenti untuk mendirikan tenda dan beristirahat.
Pukul 04.00 WIB, mereka melanjutkan perjalanan.
Baca: Gunung Merapi Kembali Normal, Yuk Kunjungi 6 Destinasi Wisata yang Lagi Hits di Jogja di Weekend Ini
"Sambil foto-foto (di perjalanan), sekitar pukul 05.00 WIB sudah terdengar suara 'Dumm' tapi agak kecil," kata Stefanus.
Kira-kira pukul 05.30 WIB, rombongan sudah sampai di Pasar Bubrah dan sempat berkeinginan untuk naik sampai puncak Gunung Merapi.
Namun, seorang pendaki telah memperingatkan mereka ada 'sesuatu' yang terjadi di puncak.
"Ada pendaki lain yang mengatakan gas belerang sudah sampai atas dan di puncak terdengar suara gemuruh seperti pesawat terbang," ungkapnya sambil memainkan gelas plastik di sampingnya.
Sampai pukul 07.30 WIB, Stefanus masih mengabadikan momen dengan berfoto di sana, tapi kemudian letusan terjadi.
Bumbungan asap mulai terlihat dan orang-orang di puncak terlihat panik.
"Prosesnya adalah suara gemuruh dulu, lalu ada 'Dumm' dan asap naik, seperti ledakan bom, asapnya sangat besar," ucapnya sambil menirukan bunyi dentuman dari perut Gunung Merapi.
Menurutnya, letusan terjadi lebih dari sekali.
"Kemudian ada letusan kedua. Jadi di Pasar Bubrah, orang-orang pada panik, cewek-cewek pada nangis, barang-barang ditinggal semua," tuturnya.
Pria kelahiran tahun 1998 ini mengungkapkan letusan kedua ini memiliki intensitas yang lebih kecil daripada yang pertama.
Setelah itu, pendaki mulai berusaha menyelamatkan diri dan turun dari gunung, bersama rombongan masing-masing.
"Kami turun atas inisiatif sendiri. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada peringatan ataupun bunyi alarm," akunya.
Stefanus mengaku suara gemuruh tidak terdengar jelas dari bukit di Pasar Bubrah.
Dan letusan terjadi begitu saja.
Menurut penglihatan Stefanus, asap yang keluar dari puncak Merapi itu mengembang ke samping baru naik ke atas.
"Asapnya mengembang. Meletus kesamping dulu baru ada dari tengah naik ke atas. Jadi pendaki yang ada di puncak sempat tertutup asapnya," katanya.
Dia juga tidak merasakan gempa sebelum letusan terjadi.
Saat melihat bumbungan asap gimbal di depan matanya, Stefanus mengaku berusaha tenang dan sempat mengambil video, sembari menunggu temannya yang masih di bawah.
"Pikiran saat itu adalah berangkat bareng, pulang bareng, pasrah aja. Saya nggak pikir gimana-gimana cuma pasrah aja. Kalau ini harus hidup yang terakhir, emoga amal ibadahnya diterima, gitu aja sih," ungkapnya pasrah.
Stefanus mengaku selama menyaksikan erupsi freatik Gunung Merapi, dia merasa dadanya sesak.
"Dadanya sakit sekali, batuk dan sesak napas dan itu terasa lebih kurang 15 menit," kataya.
Namun setelah turun dari gunung, pernapasannya kembali normal.
Mendaki Gunung Merapi dan menyaksikan erupsi freatik untuk kali pertama, Stefanus mengaku tidak kapok untuk mendaki Merapi lagi.