Laporan Reporter Tribun Jogja, Ahmad Syarifudin
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL- Bocah lelaki itu bernama Cahyo Agung Wibowo. Usianya 10 tahun.
Usia dimana kebanyakan anak-anak bermain riang gembira, ia hanya bisa terduduk lemah di atas dipan kayu.
Tak ada suara, karena ia tak mampu bicara. Tubuhnya tampak ringkih, kurus.
Tulang-tulangnya menonjol begitu sangat kentara dari balik kulit yang membalut tubuh kecilnya.
Tatapan matanya sayu, dengan gigi-gigi runcing menyembul dari mulut.
Wajahnya lugu, terdiam. Sesekali terdengar ia mengerang, ingin bersuara, tapi tak bisa.
Jangan bayangkan lelaki kecil ini bisa berjalan, karena hanya untuk menggerakkan tangan dan kakinya saja, ia begitu kesulitan.
Di sebuah rumah sederhana, di Kedung Buweng RT 04, Wukirsari, Imogiri, Bantul, Cahyo hidup berdua hanya bersama neneknya, Mbah Warzanah.
Ketika Tribunjogja.com berkunjung, Warzanah, terlihat tengah sibuk menyiapkan barang dagangan ala kadarnya, yang hendak dijual ketika waktu berbuka puasa tiba.
Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, perempuan berusia 56 itu menggantungkan hidup berjualan pecel di Pasar Imogiri Lama.
Jarak dari rumahnya menuju pasar sekitar 3 kilometer.
Ia tempuh dengan berjalan kaki.
"Mau gimana lagi. Sepeda (onthel) tidak punya, apalagi sepeda motor. Kalau ada sedikit rezeki, ya kadang saya naik ojek. Bayarnya Rp 10 ribu, tapi sayang uangnya. Mending jalan kaki," tuturnya, Jumat (25/5/2018).
Penghasilan dari jualan pecel, diakui Warzanah tak menentu.
Ketika tengah laku, ia bisa tersenyum, pulang dengan mengantongi uang Rp 50 ribu.
Namun, ketika dagangan sepi, ia pun hanya pasrah.
"Nggak tentu hasile (tidak menentu hasilnya). Berapapun, tak cukup-cukup untuk kebutuhan sehari-hari," terangnya.
Tak ayal, untuk menambah pendapatan, Warzanah setiap akhir pekan beralih berjualan minuman di sekitar area makam raja-raja di Imogiri.
"Saya juga membuat wedhang uwuh dan bubuk daun kelor buat nambah-nambah penghasilan," timpal dia.
Dari bekerja keras itu, ia bisa sedikit membelikan cucunya gula sebagai pengganti susu.
Susu adalah barang mewah di rumah Warzanah.
Dengan penghasilan tak menentu, ia tak sanggup jika harus membelikan cucunya susu setiap hari.
Untuk mensiasatinya, ia terpaksa memberinya dengan air gula.
"Gantinya susu, saya kasih dia minum air gula. Karena doyannya yang manis-manis. Kalau makan, nasi, saya kasih lauk kecap," ujar Warzanah, dengan raut wajah sedih.
Warzanah dan cucunya, Cahyo Agung Wibowo menempati rumah kecil sederhana.
Dengan dinding batu bata, beralas plesteran.
Rumah itu hanya memiliki satu kamar tidur dan satu ruangan berukuran 7x9 meter yang digunakan untuk ruang utama sekaligus ruang tamu.
Tak ada hiburan elektronik maupun perabotan berharga di dalam rumah itu.
Hanya ada meja-kursi, satu almariĀ serta satu dipan kayu dengan kasur yang telah usang.
Beberapa dinding, rumah ini bahkan masih ada yang terbuat dari kayu.
Untuk kebutuhan air, Warzanah harus menimba dari sumur yang berada di samping rumahnya.
Semua pekerjaan dan kebutuhan sehari-hari dilakukan secara mandiri, mengingat suami dan kelima anaknya sudah tak lagi tinggal di rumah.
"Suami saya, namanya Ngatijan, sudah meninggal satu tahun yang lalu. Punya anak lima, empat sudah berkeluarga dan satu tinggal di luar kota," ungkapnya.
Tak mau Berpangku Tangan.
Di usianya yang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, Warzanah, tetap harus bekerja keras menghidupi dirinya dan sang cucu.
Ia mengaku tak mau berpangku tangan.
Hidup terus berjalan dengan sabar dan kepasrahan.
Sang cucu, Cahyo Agung Wibowo yang ia rawat sepenuh hatinya merupakan anak pertama dari pasangan Agung Sedayu (35) bersama istrinya, Rismiyati.
"Agung Sedayu itu anak saya yang kedua. Ia dan istrinya cuma titip anak dan sampai sekarang tak pernah pulang. Tak tau ada dimana," jelas Warzanah.
Warzanah bercerita, awalnya, pada empat tahun silam, Cahyo kecil berusia 6 tahun, hanya dititipkan begitu saja dari anaknya, Agung Sedayu, dengan selembar surat.
Dari surat tersebut, Agung menuliskan bahwa dirinya akan bekerja mencari nafkah dan akan mengirimkan sejumlah uang untuk kebutuhan Cahyo setiap bulannya.
Namun, janji hanyalah tinggal janji.
Janji dari surat tersebut tak pernah ditepati.
"Agung, anak saya itu, sampai sekarang nyatanya tak pernah pulang, tak pernah berkabar," ujar dia.
Diungkapkan oleh Warzanah, Cahyo, sejak kecil memang sudah menderita sakit.
Namun, sampai saat ini, tak pernah diketahui secara pasti, sakit apa yang diderita cucunya itu.
Pernah suatu ketika, ia mencoba memeriksakan kondisi kesehatan cucunya itu di puskesmas setempat.
"Kata Dokternya, sakit polio. Tapi sebab pastinya saya nggak tau," tutur dia.
Saat ini, Warzanah mengaku hanya bisa pasrah atas kondisi yang dialami oleh cucunya.
Ia berharap suatu waktu ada keajaiban, sehingga ia bisa menyaksikan cucu kesayangannya tersebut bisa berjalan seperti anak-anak pada umumnya.
Ketika ditanya terkait bantuan, Warzanah mengaku belum pernah mendapatkan bantuan apa-apa.
Baik dari pemerintah desa maupun pemerintah kabupaten.
Bantuan diakuinya justru datang dari perorangan maupun komunitas yang peduli anak.
Ada yang memberinya sembako, roti hingga kasur dan pempres.
"Saya tidak bermaksud ingin mendapatkan bantuan. Tapi setidaknya ada yang peduli pada Cahyo, dengan segala keterbatasannya," ucap Warzanah. (*)