TRIBUNNEWS.COM - Ingat Erwiana Sulistyaningsih bekas TKI asal Ngawi yang disiksa majikannya di Hong Kong?
Kisah yang dialami Erwiana sempat menjadi sorotan media tanah air dan media asing.
Pada 2013 silam, Erwiana mengalami penyiksaan dari majikannya dan disebut sebagai penganiayaan paling sadis pada masa itu.
Gadis cantik yang dulunya bekerja di Hong Kong ini mendapat luka parah di wajah dan sekujur tubuhnya.
Viralnya kasus penganiayaan Erwiana membuat Gabriel Ordaz McKail, jurnalis lepas yang tergabung dalam Foreign Correspondent’s Club membuat film dokumenter yang diberi judul "Erwiana; Justice for All".
Film dokumenter ini pun bakal diboyong ke festival internasional.
Tak cuma itu, Erwiana yang pada akhirnya bisa memenjarakan majikan selama enam tahun itu dinobatkan sebagai 100 orang paling berpengaruh di dunia oleh Majalah Time pada 2014.
Setelah menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh, Erwiana memutuskan untuk berhenti menjadi TKI.
Ia memilih melanjutkan sekolah di perguruan tinggi.
Lima tahun berlalu setelah kejadian mengenaskan tersebut, Erwiana membuktikan diri bisa menoreh prestasi.
Erwiana baru saja menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Ia berhasil mendapat gelar Sarjana Ekonomi dengan predikat Cum Laude.
Prestasi Erwiana ini membuat Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia bangga.
Di akun Facebooknya Erwiana mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantunya menyelesaikan pendidikan.
Dia berjanji akan mendedikasikan ilmunya untuk masyarakat.
"Saya akan terus melanjutkan perjuangan bersama-sama dalam gerakan rakyat yang masih tertindas," tulisnya.
Dikutip dari Nakita.grid.id ternyata, motif Erwiana untuk menjadi TKI dikarenakan untuk melanjutkan pendidikan.
Erwiana dari awal sangat ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Sayangnya, orangtuanya tak sanggup membiayai pendidikannya tersebut.
Erwiana memutuskan untuk menjadi TKI di Hong Kong.
Disiksa
Kasus penyiksaan Erwiana dimulai pada Mei 2013 –saat dimana ia berangkat ke Hong Kong dan bekerja untuk majikannya Law Wan-tung.
Di sana, Erwiana dipaksa tidur di lantai, bekerja 21 jam perhari, dan tidak diizinkan libur.
Kalau dianggap lamban bekerja, sudah pasti dipukuli dengan peralatan rumah tangga; gagang sapu, penggaris, dan gantungan baju.
Delapan bulan, Erwiana menerima siksaan bertubi. Hingga luka-lukanya infeksi lantaran tak dibawa ke dokter. Oleh majikannya, ia dibiarkan sekarat dan tak mampu berjalan.
Hingga kemudian sang majikan memulangkannya ke Indonesia, juga tak lupa mengancam agar tak menceritakan penyiksaan itu pada orang lain.
Melihat kondisi Erwiana yang babak belur, teman sesama buruh migrant melapor ke Kepolisian Hong Kong.
Beruntung karena polisi Hong Kong mendatanginya ke rumah sakit di Sragen. Tapi perlakuan sebaliknya justru datang dari BNP2TKI –yang meminta Erwiana berdamai.
Dari situlah, majikan Erwiana akhirnya ditangkap Kepolisian Hong Kong saat berupaya kabur ke Thailand dan divonis enam tahun penjara.
Sejak itu, Erwiana menjadi simbol pembelaan hak-hak buruh migrant perempuan. Bahkan namanya masuk dalam daftar 100 tokoh berpengaruh versi Majalah Time.