Ia tidak mau mengatakan di mana kampung kecilnya di Gasib.
"Anak saya juga kerja di sekitar sini. Umurnya baru 23 tahun. Suami saya sudah tak ada lagi. Beginilah kami bertahan hidup," ujar Ria.
Ria juga bukan perempuan pelayan tamu yang tetap di rumah pelesir pertama itu.
Ia sudah 37 tahun, yang jarang dilirik pria hidungbelang yang datang.
"Kadang-kadang ada juga. Rezeki tidak kemana," ujarnya lagi, kemudian berlalu dan menyapa pengendara lain yang mencari penghiburan di lokasi penuh semak belukar itu.
Berjarak sekitar 100 meter dari rumah pelesir pertama, terdengar pula musik house lebih menggelegar.
Banyak laki-laki separuh baya datang ke sana, pun laki-laki 20 an tahun.
"Di sana lebih banyak orang, mereka mendatangkan cewek dari Pekanbaru," kata Ria memberi petunjuk.
Menelusuri jalan becek yang membelah semak belukar, suara musik kian semarak saja.
Pada halaman rumah kedua itu, aroma minuman beralkohol lebih tajam.
Laki-perempuan larut, bergoyang, asap rokok mengepul di seluruh ruangan dan sebagian lari ke bagian toilet untuk muntah-muntah.
"Terlalu banyak menenggak minuman sedari tadi. Jadi sudah pada mabuk, Bang," kata perempuan berbadan pendek.
Perempuan itu juga memakai celana jeans sangat pendek, sebagian pahanya terbuka.
Pinggangnya yang melebar membuat bajunya tampak sangat sempit.