Gunung Anak Krakatau disebut masih berpotensi tsunami, berikut penjelasan BMKG hingga Badan Geologi Kementerian ESDM.
TRIBUNNEWS.COM - Gunung Anak Krakatau diketahui mengalami penyusutan tinggi setelah terjadi letusan pada Jumat (28/12/2018) tengah malam pukul 00.00 WIB hingga 12.00 WIB.
Tinggi Gunung Anak Krakatau yang semula adalah 338 meter di atas permukaan laut menyusut menjadi 110 meter.
Menyusutnya tinggi gunung yang terletak di Selat Sunda ini telah dikonfirmasi Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo.
"Bahwa pada sekitar 14.18 WIB kemarin sore terlihat, terkonfirmasi, bahwa Gunung Anak Krakatau jauh lebih kecil dari sebelumnya," ujar dia ketika memberikan paparan kepada awak media di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Sabtu (29/12/2018), seperti dikutip Tribunnews dari Kompas.com.
Baca: BPPT Akan Pasang Tiga Bouy dan CBT di Perairan Gunung Anak Krakatau
Penyusutan tinggi Gunung Anak Krakatau juga diungkapkan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugrohio lewat akun Twitternya.
Sutopo mengungkapkan volume Gunung Anak Krakatau hilang 150 hingga 170 juta meter kubik.
Menurut Sutopo, menyusutnya tinggi Gunung Anak Krakatau disebabkan karena proses tubuh dan erosi selama 24 hingga 27 Desember 2018.
"Perubahan tubuh Gunung Anak Krakatau.
PVMBG memperkirakan yang semula tinggi 338 meter, saat ini 110 meter.
Volume Anak Krakatau hilang 150-170 juta m3.
Volume saat ini 40-70 juta m3.
Berkurangnya volume tubuh GAK disebabkan proses rayapan tubuh & erosi selama 24-27/12/2018."
Meski telah mengalami penyusutan tinggi, Gunung Anak Krakatau masih berpotensi menimbulkan tsunami di kawasan perairan Selat Sunda.
Hal tersebut diungkap Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) lewat laman resmi Facebook mereka Hari ini, Sabtu (29/12/2018).
Baca: Kementerian ESDM: Kabar Gunung Anak Krakatau Segera Meletus Hoaks
BMKG menyebutkan pihaknya dan TNI Angkatan Udara telah melakukan pemotretan terhadap Gunung Anak Krakatau.
Dari hasil tersebut, diketahui Gunung Anak Krakatau masih aktif dan masih berpotensi menimbulkan tsunami.
Karena itu zona berbahaya dalam radius 500 meter hingga satu kilometer masih tetap berlaku.
Masyarakatpun diimbau untuk tetap tenang serta waspada agar menghindari melakukan aktivitas di dalam zona 500 meter hingga satu kilometer.
"Berdasarkan hasil pemotretan udara oleh TNI Angkatan Udara dan BMKG diketahui gunung anak krakatau masih aktif, masih berpotensi membangkitkan tsunami.
Oleh karena itu, zona waspada dalam radius 500 m - 1 km masih tetap berlaku. Masyarakat dihimbau untuk tetap tenang dan waspada untuk menghindari beraktivitas didalam zona 500m - 1 km.
Mohon terus memonitor perkembangan informasi aplikasi mobile dan media sosial infobmkg dan memonitor perkembangan aktivitas gunung krakatau melalui aplikasu MAGMA milik Badan Geologi ESDM agar tidak terpancing dengan informasi yg menyesatkan.
BMKG beserta Badan Geologi dengan dukungan TNI dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman masih tetap terus memantau."
Terkait pengumuman yang diberikan BMKG, pihak Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) menyatakan potensi tsunami akibat Gunung Anak Krakatau sangat kecil meski saat ini tengah mengalami letusan surtseyan.
Dilansir Kompas.com, Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo menjelaskan letusan surtseyan adalah tipe letusan yang terjadi di atas permukaan laut karena longsoran magma menyentuh air laut.
Baca: PVMBG: Dentuman dari Gunung Anak Krakatau tak Terdengar Lagi
"Letusan surtseyan ini sangat kecil memicu tsunami," jelas pria yang akrab disapa Purbo ini kepada awak media di kantornya, Sabtu (29/12/2018).
Purbo menambahkan tsunami tidak akan terjadi kecuali ada reaktivasi struktur patahan atau sesar yang ada di Selat Sunda.
Meski menyatakan potensi tsunami akibat Gunung Anak Krakatau sangat kecil, Purbo menyebutkan masih ada potensi bahaya dari lontaran material pijar lava.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)