TRIBUNNEWS.COM -- Sejumlah penyintas atau orang yang mampu bertahan hidup, berhasil selamat dari bencana tsunami di Selat Sunda yaitu Lampung dan Banten, yang menerjang pada Sabtu (22/12/2018) malam.
Terbaru, seorang penyintas tsunami Lampung ditemukan terdampar di atas sebatang dahan pohon mati di Pulau Panjang pada Minggu (30/12/2018).
Dilansir Kompas.com, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga Senin (31/12/2018) pukul 13.00 WIB, jumlah korban meninggal dunia akibat tsunami Selat Sunda menjadi 437 orang.
Jumlah itu meliputi korban di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Serang, Pandeglang, Lampung Selatan, Pesawaran, dan Tanggamus.
Selain korban meninggal, tercatat 14.059 orang luka-luka, 16 orang hilang, dan 33.721 mengungsi.
Sejumlah penyintas tsunami Lampung menceritakan upaya mereka bertahan hidup dari terjangan tsunami.
1. Terdampar Selama 9 Hari
Seorang korban tsunami Lampung terombang-ambing di atas dahan pohon selama sembilan hari sejak peristiwa tsunami terjadi pada Sabtu (22/12/2018) malam.
Pria tersebut ditemukan anggota TNI Angkatan Laut (AL), saat menyisir perairan Lampung Selatan, Minggu (30/12/2018).
Video saat TNI AL menyelamatkan korban tsunami Lampung di perairan Lampung Selatan tersebut, beredar di media sosial.
Video tersebut diunggah akun Facebook Pardie Rea Reo pada Senin (31/12/2018).
Dalam video, anggota TNI AL dari KRI Rigel tampak menggunakan sekoci menghampiri korban di bibir pantai.
Korban disebutkan terdampar di Pulau Panjang akibat terjangan tsunami.
Korban baru ditemukan pada Minggu (30/12/2018).
Ia berada di atas dahan pohon mati yang berada di tepi pantai, saat petugas menghampirinya.
"Ya itu dia, seorang warga terdampar di pulau panjang," ujar seorang petugas yang terekam dalam video.
Korban yang diselamatkan TNI tersebut diketahui bernama Lago.
Saat ditemukan, pakaian yang dikenakan Lago tampak robek.
Ia segera dinaikkan ke atas sekoci oleh petugas penyelamat.
Lago menuturkan, ia menjadi korban tsunami Selat Sunda saat sedang memancing ikan pada Sabtu (22/12/2018) malam.
Kepada petugas, Lago mengaku sebagai nelayan yang berasal dari Kalianda, Lampung.
"Saya dari Kalianda, Lampung," ujar Lago kepada petugas.
Lago mengaku sudah sekitar sembilan hari terdampar di pulau tersebut.
"Semingguan," jawab Lago saat ditanya petugas berapa lama ia berada di Pulau Panjang.
Ia bertahan hidup dengan memakan apa saja yang ditemukannya, termasuk sampah di laut.
Lago mengaku tak sendiri saat terdampar.
Beberapa orang temannya juga menjadi korban tsunami Selat Sunda dan terdampar.
Seorang temannya disebutkan hilang, dan Lago hanya menemukan perahunya.
"Yang di Pulau Baru hancur, hanya perahunya doang yang ketemu," ujarnya.
Sementara, satu temannya bernama Jokowi disebutkan berada di pulau yang sama.
Namun kini, keberadaannya tak diketahui.
Hingga berita ini diturunkan, keterangan resmi dari pihak TNI AL terkait penemuan korban tsunami Lampung tersebut, belum ada.
2. Berenang 16 Jam
Nelayan asal Lampung bernama Puji mengisahkan pengalamannya seusai selamat dari terjangan tsunami Selat Sunda yang terjadi Sabtu (22/12/2018) pekan lalu.
Tsunami Selat Sunda yang diakibatkan dari aktivitas Gunung Anak Krakatau menerjang wilayah Pandeglang, Anyer, dan Lampung.
Dalam kesaksiannya, Puji mengatakan bahwa sebelum terjadi tsunami Selat Sunda, ia bersama 14 nelayan lainnya tengah mencari ikan di tengah laut.
Puji bahkan menyatakan bahwa ia sempat camping di Gunung Anak Krakatu sembari mencari ikan.
Dari 15 nelayan, empat orang tersisa, termasuk Puji yang berhasil menyelamatkan diri dari tsunami Selat Sunda dan letusan Gunung Anak Krakatau.
"Ya itu nggak ada tanda-tanda sama sekali kalau mau kejadian Gunung Anak Krakatau mau meletus. Posisi saya lagi di tengah laut, sekitar 700 meter dari Anak Krakatau lagi mencari ikan," kata Puji, dilansir YouTube Lampung TV.
Kala itu, Puji dan belasan nelayan lainnya memahami kondisi Gunung Anak Krakatau sedang aktif.
Tetapi, mereka tak mengira bahwa Gunung Anak Krakatau akan meletus dahsyat karena situasi yang tampak sudah seperti hari-hari biasanya.
Puji pun melihat jelas Gunung Anak Krakatau meletus hingga menimbulkan tsunami.
"Waktu kejadian itu, saya lihat Gunung Anak Krakatau membelah dua. Pas belah dua itu mulai timbulnya tsunami."
"Waktu itu yang saya lihat paling jelas meletusnya bukan di bagian atas, tapi di samping. Meletusnya di bagian samping, lahar-lahar mencar semua," ujarnya.
Tsunami terjadi setelah belahan Anak Krakatau jatuh ke laut hingga menimbulkan tiga gelombang tinggi.
"Terus bagian atasnya ambruk, nah lima menit kemudian timbul ombak tsunami. Ada tiga ombak itu yang besar dan yang paling besar ombak ketiga," katanya.
Menurut Puji, tingginya gelombang tsunami di tengah laut mencapai 12 meter.
Gelombang tsunami itu lantas menghancurkan perahu Puji dan nelayan lainnya.
Beruntungnya, mereka masih bisa mengapung di tengah laut menggunakan bongkahan perahu.
"Untungnya materialnya tidak sampai kami, cuma batu apungnya saja yang kena kami. Air lautnya juga campur sama belerang, bau, keruh juga kayak air kopi," jelasnya.
Puji menceritakan situasi di tengah laut seusai letusan Gunung Anak Krakatau sempat hujan bercampur debu vulkanik.
Perjuangan Puji menyelamatkan diri di tengah laut ketika tsunami pun tak mudah.
Ia sempat menyusul temannya yang masih ada di daratan Anak Krakatau.
"Lalu saya berenang sama teman saya nyusul teman saya di daratan Anak Krakatau. Di sana ternyata perahu teman-teman juga sudah hancur, mereka juga berenang. Terus saya samperin, saya nanya katanya di daratan masih ada dua orang lagi," paparnya.
Tetapi, di tengah Puji ingin menolong temannya, belahan Anak Krakatau kembali jatuh ke laut sebanyak dua kali.
Ambrukan Anak Krakatau yang terakhir langsung membuat air laut terasa panas.
"Saya samperin, tapi belum sampai tempat bagian ujung gunungnya jatuh. Saya teriak ke mereka agar berenang ke tengah."
"Setelah teman saya berenang ke tengah, bagian timur gunung ambruk lagi. Setelah ambruk itu airnya langsung panas sampai badan kerasa panas," katanya.
Beruntungnya, Puji dan enam nelayan lainnya berhasil menyelamatkan diri dari tragedi letusan Anak Krakatau dan tsunami.
Mereka berkumpul di tengah laut dalam keadaan mengapung, sambil memikirkan cara menyelamatkan diri.
Bahkan, mereka sempat mengisi tenaga dengan mengonsumsi makanan seadanya, termasuk ikan mentah demi menambah tenaga.
"Akhirnya kita kumpul ada tujuh orang dan ada persediaan beras. Kita makanin itu beras mentah di tengah laut, makan ikan mentah juga saking laparnya biar ada tenaga," ucapnya.
Dengan berbagai pertimbangan, Puji dan enam nelayan lain akhirnya memutuskan berenang ke daratan dengan bantuan bongkahan perahu.
Sayangnya, tiga nelayan tidak mampu lagi berenang hingga meminta Puji dan nelayan lain untuk terus berenang menyelamatkan diri lebih dulu.
"Sesudah itu kita memutuskan untuk berenang ke pulau dari tengah laut. Tapi, tiga orang ngga kuat berenang."
Puji mengatakan, tiga temannya tidak sanggup lagi berenang ke daratan lantaran kehabisan tenaga dan alami kram kaki.
Di sisi lain, Puji dan tiga nelayan lain yang berhasil selamat juga tidak sanggup menyelamatkan temannya karena sudah mulai lemas.
"Mereka sempat bilang sudah ngga kuat lagi, kaki sudah kram, ngga tahan lagi. Kita juga bingung caranya menyelamatkan gimana, tubuh saya juga sudah lemas, buat menyelamatkan diri susah," ujarnya.
Alhasil, Puji dan temannya memutuskan meninggalkan tiga nelayan tersebut guna menyelamatkan diri lebih dulu.
"Akhirnya kita tinggalkan tiga orang itu di tengah laut," tandasnya.
3. Wanita Hamil Sempat Terendam
Seorang warga Desa Way Muli Timur, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan (Lamsel), Sulis (32) mengaku tidak akan melupakan musibah tsunami yang ia alami tersebut.
Sulis yang sedang hamil enam bulan, hendak beranjak tidur bersama kedua anaknya, saat bencana tsunami Lampung menerjang.
Ia pun sempat terjatuh dan terendam air laut yang menerjang.
Beruntung, ia diselamatkan oleh tetangganya.
Sulis bersama sang suami menyelamatkan diri ke kaki Gunung Rajabasa.
“Waktu hendak menyelamatkan diri, saya sempat jatuh. Suami saya menyelamatkan anak. Beruntung, ada tetangga yang menarik tangan saya. Saya sempat sudah terendam luapan air,” kata dia, Minggu (23/12/2018).
Saat air surut dan kondisi sudah aman, ia bersama suami kembali ke rumah.
Ia mendapati bagian depan rumahnya sudah roboh.
Begitu, warung soto miliknya sudah rata dengan tanah.
Sementara, beberapa rumah tetangganya juga rata dengan tanah.
“Sewaktu balik, bagian depan rumah saya sudah roboh. Juga, warung soto saya. Saya bersyukur anak-anak saya selamat,” kata dia.
4. Pegangan Batu Saat Diterjang Ombak
Seorang penyintas tsunami Lampung lainnya adalah seorang remaja bernama Teguh (18).
Dalam peristiwa tersebut, Teguh kehilangan temannya, Sahroni, yang sedang bersamanya saat bencana tsunami Lampung terjadi.
Teguh merupakan warga Merambung Desa Pandan, Kalianda, Lampung Selatan.
Saat kejadian, Teguh dan Sahroni bermain di tepi Pantai PPI Bom.
Tiba-tiba, gelombang tinggi datang.
Teguh dan Sahroni berlari untuk menyelamatkan diri.
“Gelombang datang tiga kali. Pertama, merobohkan motor yang kita pakai. Kita kemudian lari. Tapi, gelombang kedua dan ketiga datang,” beber Teguh.
Teguh sempat berpegang pada batu saat gelombang datang.
Pascatsunami, Teguh kehilangan jejak Sahroni.
“Saya nggak tahu dia kebawa ombak apa nggak. Tapi, saya masih belum menemukan dia,” ujar Teguh.
5. Ayah Peluk Anak Tergulung Ombak
Di Way Muli Timur, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, Nasoha (45) tak pernah menyangka bahwa suara gemuruh yang didengarnya merupakan ombak besar.
Ketika tsunami Lampung datang sekira pukul 21.00 WIB, Sabtu (22/12/2018), Nasoha bersama sang anak sedang berada di rumah.
Saat ombak pertama datang, kata Nasoha, ia sempat keluar rumah dan mencari sumber suara.
"Pas keluar, ternyata air sudah naik ke rumah setinggi lutut. Saya cepat masuk lagi ke rumah narik anak untuk keluar," cerita Nasoha, Minggu.
Nasoha sempat mengira air yang memasuki rumahnya hanyalah ombak pasang air laut.
Tetapi, lanjut Nasoha, ombak kedua setinggi empat meter lebih datang, dan langsung menghantam rumahnya.
"Saya nggak sempat ngapa-ngapain lagi. Sama anak cuma bisa pelukan saja. Terus dalam sekejap saya sudah tergulung ombak," tutur Nasoha.
Nasoha mengalami luka robek di lengan kanan dan telinga kanan, serta memar di pelipis mata kiri.
Ia mengaku pasrah saat tergulung ombak.
"Tapi syukur, saya masih bisa selamat. Tapi rumah saya rata, tidak berbentuk lagi," ucap Nasoha. (tribunlampung.co.id/kompas.com)
Artikel ini telah tayang di tribunlampung.co.id dengan judul Kisah Para Penyintas Tsunami Lampung, 9 Hari Terdampar hingga Ayah Peluk Anak Diterjang Ombak