“Terus terang saya tidak terlalu mengenal dia. Sebab dia tidak pernah berbaur dengan warga. Beli di warung saya juga tidak pernah. Saya lihat dia paling kalau pagi. Setiap pagi dia menyapu halaman. Setahu saya adik laki-lakinya setiap hari selalu antar-jemput dia. Setiap pagi juga adiknya mengantarkan makanan,” terangnya.
Sundari mengaku merasa kasihan pada Legiman, karena ia tak memiliki istri maupun anak. Sundari juga mengetahui jika Legiman sehari-hari mencari nafkah dengan mengemis.
Baca: Tidak Hanya LIbat Tim Gabungan, Pencarian Ali Ajir Libatkan Dukun
Namun, ia terkejut ketika Tribunjateng.com memberitahukan bahwa Legiman pernah didapati Satpol PP Pati memperoleh uang lebih dari Rp 1 juta dalam satu hari.
“Wah, saya baru tahu kalau penghasilannya sebanyak itu. Saya pernah melihat dia mengemis di sekitar Puri. Tapi waktu itu dia menunduk, mungkin karena malu. Saya sampai merinding dengar penghasilannya sebanyak itu,” tuturnya.
Sundari menjelaskan, setiap hari Legiman pulang malam dijemput adiknya. Setelah itu mereka menghitung uang.
“Kalau menghitung uang koin, suaranya kedengaran sampai rumah saya. Klunting, klunting, begitu,” tambahnya.
Keterangan Legiman
Setelah memperoleh keterangan dari Sundari, Tribunjateng.com segera mengunjungi rumah kontrakan yang ditinggali Legiman. Dari jendela, tampak sosok Legiman, dengan bertelanjang dada, tengah makan sembari menonton televisi.
Tiga kali ketukan pintu dan satu kali ucapan salam belum cukup untuk memancing perhatian Legiman.
Ia tetap asyik menyantap nasi sambil menonton televisi. Ketika Tribunjateng.com mengulangi ketukan pintu dan ucapan salam, barulah ia menoleh, membukakan pintu, dan mempersilakan masuk.
Rumah yang ditinggali Legiman tergolong sederhana. Di ruangan tempat ia menjamu Tribunjateng.com, antara lain terdapat dispenser, galon air mineral, kipas angin duduk, televisi tabung, dan kardus bekas mie instan berisi lembar-lembar uang dua ribuan dan kertas-kertas sobekan buku tulis.
Kesan ramah dan ceria tampak dari cara Legiman menyambut Tribunjateng.com. Ia mematikan televisi, kemudian menunjukkan bahwa ia tengah makan dan meminum minuman berwarna merah muda.
Namun, Legiman memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi. Ia gagu . Tribunjateng.com sedikit kesulitan memahami perkataannya. Namun, ada beberapa keterangan dari Legiman yang berhasil terhimpun.
Legiman juga memiliki keterbatasan fisik. Ia berjalan terpincang-pincang dan tangan kanannya yang tampak lebih kecil dari tangan kirinya selalu terlipat di depan dada.
Ketika Tribunjateng.com menyebut “Satpol PP”, Legiman sontak merespons, “Adikku.… Adikku….”
Ia lalu mengambil ponsel dari kamarnya, menawari untuk meneleponkan sang adik. Namun, Tribunjateng.com menolak tawaran Legiman secara halus. Legiman kemudian menunjukkan nomor ponsel adikknya. Tertulis “Rebih” di sana.
Kemudian, tanpa diminta, Legiman menunjukkan sebuah buku tulis yang lembar demi lembarnya penuh bertuliskan angka-angka.
“Itung… itung. Adikku itung,” ucapnya yang dapat ditangkap Tribunjateng.com.
Pengamatan Tribunjateng.com, buku tersebut bertuliskan nominal-nominal uang. Ketika halaman-halamannya dibalik, terdapat empat lembar kartu berwarna merah muda.
Keempat kartu tersebut merupakan kartu bukti pinjaman yang dikeluarkan satu Koperasi Simpan Pinjam yang beralamat di Tayu, Pati. Keempat kartu tersebut bertuliskan empat nama yang berbeda.
Ketika ditanya apakah ia memiliki KTP, Legiman langsung masuk ke dalam kamarnya, dan sebentar kemudian menunjukkan selembar KTP. KTP model lama (belum e-KTP) tersebut diterbitkan oleh Dispendukcapil Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dalam KTP yang telah habis masa berlakunya tersebut, diterangkan bahwa Legiman lahir di Pati pada April 1960. Artinya, kini ia berusia 58 tahun.
Ketika ditanya apakah ia selalu membawa KTP ketika mengemis, ia menjawab, “Tidak. Takut hilang.”
Sebentar kemudian, ia masuk kembali ke kamarnya, dan keluar dengan menenteng sebuah tas pinggang. Ketika dibuka, tas tersebut penuh berisi uang kertas dan koin.
“Dari Pasar Tayu,” ucapnya.
Ia kemudian berkata, “Kecekel(tertangkap) Pol PP… Alun-alun… sesok(besok) Pasar Tayu.”
Menurut pemahaman Tribunjateng.com, Legiman menjelaskan bahwa setelah ia terjaring razia Satpol PP Kabupaten Pati pada Sabtu (12/1/2019) di Alun-Alun Kota Pati, keesokan harinya ia mengemis di Pasar Tayu.
“Kecekel pindo,” ujarnya, menjelaskan bahwa ia telah dua kali terjaring razia Satpol PP.
Ketika ditanya apakah ia sehari-hari mencuci pakaian sendiri, ia lantas mengajak Tribunjateng.com menuju ruang yang berada di bagian belakang rumahnya.
Ia menunjukkan tempatnya mencuci. Ia juga menunjukkan kamar mandinya. Selain itu, ia juga menunjukkan kompor dan peralatan masak di dapurnya.
“Iya, bisa masak sendiri,” katanya.
Berbeda dari keterangan Sundari, Legiman mengaku mengontrak di rumah tersebut dengan biaya Rp 4 juta per tahun.
Tribunjateng.com kemudian berterima kasih dan berpamitan pada Legiman, lantas menuju warung Sundari untuk berpamitan pula. Di Warung Sundari, Santi, bukan nama sebenarnya, warga Perumahan Gunung Bedah lainnya, memberikan keterangan tambahan.
“Setiap pagi dia dijemput adik laki-lakinya. Saya pernah lihat, suatu hari ia diturunkan di dekat Simpang Lima TV, kemudian mungkin naik angkot entah ke mana,” jelasnya.
Sebagaimana Sundari, ia juga mengaku selalu mendengar setiap kali Legiman dan adiknya menghitung uang.
“Dia selalu pulang malam. Dijemput adiknya antara pukul 21.00 sampai 22.00. Kalau menghitung uang, saya selalu dengar. Wong pintu rumahnya saja dibuka,” ucapnya.
Keterangan Pemilik Kontrakan
Tribunjateng.com kemudian menjumpai Kepala Desa Sokokulon, Masrikan. Mulanya, Masrikan belum mengetahui keberadaan sosok Legiman di desanya.
Setelah meminta data dari Carik Desa Sokokulon, Sumarno, barulah ia tahu bahwa rumah yang ditempati Legiman merupakan milik Muhadi (59). Diundanglah Muhadi ke Balai Desa Sokokulon untuk dimintai keterangan.
“Saya kurang paham kalau soal Legiman. Saya biasanya komunikasi dengan adiknya, Rebin. Dia yang mengontrak rumah saya untuk ditempati kakaknya,” ujar Muhadi.
Rupanya, adik Legiman bernama Rebin, berbeda dari nomor kontak di ponsel Legiman yang bertuliskan “Rebih”.
Muhadi menjelaskan, Rebin telah mengontrak rumahnya selama kurang lebih satu tahun.
Rebin (50), adik Legiman yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung rongsokan, kemudian dipanggil pula ke Balai Desa Sokokulon. Rebin tinggal di Dukuh Sudo, Desa Wangunrejo, Margorejo, Pati.
Menunggu kehadiran Rebin, Muhadi menegaskan bahwa Legiman tidak mungkin dieksploitasi adiknya sendiri.
“Sebetulnya Legiman itu sudah diingatkan saudara-saudaranya untuk tidak mengemis. Tapi, namanya orang, kalau setiap hari cuma mengandalkan bantuan saudara, pasti kan sungkan. Jadi dia itu curi-curi kesempatan. Naik angkot sendiri, biasanya ke Puri, ngemis di sana,” ujarnya.
Mengenai fakta bahwa Satpol PP pernah menghitung penghasilan Legiman dalam satu hari beroperasi, dan jumlahnya lebih dari Rp 1 juta, Muhadi juga menyangsikan. Menurut dia, bisa saja itu uang yang berbulan-bulan ia bawa-bawa terus.
“Dia itu bicaranya juga kan jarang bisa ditangkap,” ujar Muhadi.
Berbeda dari keterangan Legiman, Muhadi menegaskan bahwa biaya mengontrak di rumahnya adalah Rp 400 ribu per bulan. Itu pun yang membayar adalah Rebin, bukan Legiman.
Keterangan Rebin
“Dia tidak punya buku tabungan, paling uangnya ditaruh di koperasi. Mungkin atas nama dia sendiri. Tapi saya tidak tahu pasti. Sebab, dia tidak serumah dengan saya,” ujar Rebin menanggapi rumor yang beredar mengenai kakaknya.
Rebin mengatakan, setelah kakaknya diinterogasi petugas, ia mempersilakan petugas untuk membuktikan apakah kakaknya memang memiliki tabungan senilai ratusan juta.
“Silakan ditelusuri. Kalau memang ada uang itu, silakan diambil semuanya,” tegas Rebin.
Menurut Rebin, Legiman memang suka membesar-besarkan sesuatu jika bicara. Orang yang belum paham mungkin akan langsung memercayai perkataannya.
“Punya Rp 500 ribu, bilang Rp 500 juta. Kira-kira begitu,” terangnya. “Kalau memang betul ada ratusan juta, kan mending saya belikan dia rumah.”
Rebin mengaku hanya satu kali membantu menghitung hasil mengemis Legiman, yakni ketika Legiman kali pertama mengemis di Pati. Ketika itu perolehannya Rp 110 ribu.
Ketika disinggung mengenai buku bertuliskan angka-angka yang ada di kontrakan Legiman, Rebin segera menukas, “Tidak punya. Buku catatan, kan?”
Tribunjateng.com kemudian menjelaskan bahwa Legiman sendiri yang menunjukkan buku tersebut ketika dikunjungi.
“Dia tidak punya… eh, anu… saya tidak tahu,” tukasnya kemudian.
Rebin menjelaskan, sebetulnya dia sudah berulangkali menegur Legiman, memintanya untuk berhenti mengemis, terlebih setelah ia dirazia Satpol PP.
Namun, Legiman selalu mencuri kesempatan. Ia menegaskan, tidak mungkin ia memanfaatkan kakaknya, misalnya dengan membiarkannya mengemis, kemudian uangnya ia minta.
“Masa saudara sendiri begitu?” tanya dia retorik.
Rebin kemudian menjelaskan bahwa Rebin pernah tinggal di Kalimantan, menyusul kakak perempuannya yang transmigrasi. Ia telah mulai mengemis sejak dari sana.
“Setelah ayah saya meninggal, ibu dan kakak laki-laki saya menyusul kakak perempuan saya di Kalimantan. Kakak perempuan saya sudah di sana sejak 1983. Dia kakak tertua, kami tiga bersaudara,” jelasnya.
Karena suatu persoalan yang tidak diketahui Rebin, Legiman dan ibunya kemudian pergi dari rumah kakak perempuannya dan menempati sebuah rumah kosong. Di sana ibunya mulai sakit-sakitan. Entah ada persoalan apa, kakak perempuannya jarang menjenguk. Rebin mengaku tidak mengetahui permasalahan apa yang ada di antara kakak perempuan dan ibunya.
“Mungkin dari situ dia (Legiman) berpikir untuk mengemis. Ibunya sakit, kakak perempuannya kurang perhatian, sedangkan dia sendiri butuh makan,” ujarnya.
Hari pertama mengemis di Kalimantan, jelas Rebin berdasarkan keterangan tetangga di sana, Legiman pergi tanpa pamit. Hari itu ia pulang sore, sekira pukul 17.00, dan membawa uang Rp 10 ribu hasil mengemis.
Sekira satu bulan menderita sakit, ibu Rebin meninggal dunia. Rebin pun kemudian menyusul ke Kalimantan. Ia berniat menjemput Legiman.
“Kakak perempuan saya sudah tua. Gampangnya, dia sudah tidak sanggup merawat kakak laki-laki saya. Maka dari itu saya bawa Mas Legiman ke Pati untuk saya rawat di sini. Setelah dari Kalimantan, baru sekira dua tahun dia di Pati,” tuturnya.
Sampai di Pati, Rebin mengontrakkan sebuah rumah di Perumahan Gunung Bedah untuk ditempati Legiman. Sebab, ia menghindari kemungkinan ada hal-hal kurang menyenangkan yang terjadi jika Legiman tinggal bersama ia dan istrinya.
Rebin mengaku membayar kontrakan dengan uang pribadinya. Ia sedikit pun tidak mengusik hasil mengemis Legiman. Bahkan, ia mengaku berkali-kali meminta Legiman untuk diam di rumah saja, jangan meneruskan kebiasaan mengemis.
“Sudah saya belikan rice cooker. Beras dan lauk juga saya bersedia menyediakan,” jelasnya.
Rebin menjelaskan, mulanya Legiman bersedia tidak mengemis lagi. Namun, suatu hari ia mencuri kesempatan. Seharian ia tidak pulang. Keterangan tetangga, ia naik angkot ke arah Selatan. Sore harinya, Legiman baru pulang. Ia membawa sejumlah uang. Itulah hari pertama Legiman mengemis di Pati.
“Berkali-kali saya suruh berhenti, terlebih setelah ditangkap Satpol PP. Tapi dia bersikeras tidak mau hidup hanya mengandalkan bantuan saya. Dia bilang: ‘aku yang ngemis saja tidak malu, kenapa kamu yang malu?’ Akhirnya, daripada terus-terusan bertengkar, dia saya biarkan mengemis,” ujar Rebin.
Rebin menceritakan, ia bahkan pernah mengancam Legiman, jika sampai ketahuan mengemis lagi akan ia kembalikan ke Kalimantan. Namun, Legiman tetap saja mengemis.
Ditanya apakah Legiman memiliki keterbelakangan mental, Rebin menegaskan bahwa kakaknya normal.
“Kalau mentalnya tidak normal, mana mungkin dia punya keinginan mandiri, kan? Ya, meski cara dia seperti itu sih,” ujarnya pelan.
Rebin menjelaskan, hanya kemampuan fisik Legiman yang terbatas. Kondisi itu telah ia alami sejak lahir.
“Jalannya sulit, bicara juga sulit. Pelo. Tapi, kalau saya ya bisa paham seluruh perkataannya,” tambahnya.
Mengenai perolehan mengemis Legiman yang pernah dihitung Satpol PP Pati senilai Rp 1.043.000, menurut Rebin itu karena momen tahun baru. Terlebih, kata Rebin, ketika itu Legiman dua hari mengemis tanpa pulang.
“Dia itu nggak setiap hari berangkat. Serius. Biasanya setiap Sabtu berangkat. Kadang Jumat,” tuturnya.
Secara khusus, Rebin kemudian meminta maaf kepada Kades Sokokulon, Masrikan. Ia meminta permakluman terhadap kondisi kakaknya, sekaligus berjanji akan kembali mengingatkan kakaknya untuk berhenti mengemis.
Komentar Kades Sokokulon, Masrikan
Mendengar penuturan Rebin, Masrikan mengingatkannya akan Perda nomor 7 tahun 2018.
“Ingat, yang memberi maupun yang diberi kena denda Rp 1 juta. Tolong nanti kakaknya diberi tahu, jangan sampai mengulang lagi. Ditekan terus supaya berhenti,” ujarnya.
Menurut Masrikan, jika Legiman terus mengemis, pada akhirnya citra Desa Sokokulon akan menjadi buruk.
Keterangan Sekretaris Satpol PP, Imam Rifa’i
Setelah melakukan investigasi, Tribunjateng.com kemudian menemui Sekretaris Satpol PP Kabupaten Pati, Imam Rifa’i untuk meminta tanggapan.
“Memang, dari pengalaman beberapa kali razia, pengemis-pengemis ini punya trik untuk mengelabui petugas. Trik tersebut antara lain pura-pura cacat, pura-pura gila, alamat pindah-pindah, pengakuan berubah-ubah. Intinya kami sudah sering diakali,” ujarnya.
Mengenai keterangan yang diberikan Legiman ketika terjaring razia, Imam menilainya cukup valid. Sebab Legiman bercerita dengan tidak berada di bawah tekanan.
“Ada indikasi kuat pernyataannya benar. Kalau dikonfirmasi keluarga, dia tidak mengakui, kemungkinan dia membuat alibi,” tambah Imam.
Imam menegaskan, permasalahan mengenai pengemis ini memang butuh penanganan khusus. Sebab masalah ini cukup kompleks.
“Bahkan kami pernah menemukan kos-kosan yang dihuni para pengemis. Bagi mereka mengemis adalah profesi. Di antara mereka, ada yang dikoordinatori, dan ada yang bergerak sendiri-sendiri,” ujarnya.
Agar kasus pengemis yang kembali beraksi setelah ditangkap tidak terulang, Imam menjelaskan pihaknya akan mencarikan formula yang tepat. Rencananya, pihaknya akan berkoordinasi dengan para kepala desa untuk turut memberikan pengawasan.
“Kalau pengemis yang bolak-balik tertangkap ini masih sulit dihentikan, karena sudah ada peraturan yang mengatur, nanti kita bawa ke panti sosial. Nanti dinas sosial juga kami ajak berkoordinasi,” pungkasnya. (Mazka Hauzan Naufal)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Kesaksian Tetangga Tiap Legiman, Pengemis 1 Miliar di Pati Hitung Uang, Keluarga Punya Cerita Lain