News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Gempa di Sulteng

NASA Sampaikan Studi Terbaru Penyebab Likuifaksi Petobo dan Gempa Palu

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Warga memotret bencana di kawasan Petobo, Sigi, yang mengalami likuifaksi akibat gempa, Kamis (11/10/2018). Tanggap Darurat tahap I telah berakhir pada 12 Oktober 2018 sekaligus berakhir pula evakuasi dan pencarian korban pada 11 Oktober 2018. Namun pemerintah memperpanjang masa Tanggap Darurat ke tahap II selama 14 hari ke depan, dan akan berkonsentrasi pada penanganan pengungsi dan perbaikan insfrastruktur. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

TRIBUNNEWS.COM -  Ilmuan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat atau NASA menyampaikan fakta terbaru mengenai bencana Likuifaksi di Kampung Petobo dan gempa palu di Sulawesi Tengah, 28 September 2018 lalu.

Gempa Bumi yang meluluhlantakkan Palu disusul tsunami dan likuifaksi yang menewaskan 2.086 jiwa dengan total kerugian mencapai Rp 18,48 triliun, ternyata tergolong peristiwa langka yang cuma terjadi sebanyak 15 kali dalam catatan sejarah geografi.

Ilmuan Laboratorium Propulsi Jet atau JPL NASA mengklaim, gelombang seismik bergerak menelusuri sesar Bumi dengan kecepatan super yang memecahkan batas kecepatan geologis.

 Studi yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature Geoscience itu mengungkap retakan bergerak di sepanjang sesar dalam kecepatan yang sangat tinggi sehingga memicu gelombang naik turun atau sisi ke sisi yang mengguncang permukaan tanah dan menyebabkan likuifaksi.

Hasil studi ini sejalan dengan kesaksian korban selamat dari neraka lumpur Likuifaksi yang menelan nyawa dan harta warga di kawasan Balaroa, Petobo dan Jogo One.

Getaran yang tercipta jauh lebih kuat ketimbang pada gempa bumi yang lebih lambat.

Suasana di Kampung Petobo pasca gempa dan tsunami, Sabtu (6/10/2018). TRIBUNBARRU.COM/AKBAR (Tribunbarru.com/Akbar)

Untuk mengungkap temuan tersebut ilmuwan menganalisa pengamatan resolusi tinggi spasial terhadap gelombang seismik yang disebabkan gempa bumi, radar satelit dan citra optis.

Metode ini diperlukan buat menghitung kecepatan, tempo dan tingkat magnitudo gempa berkekuatan 7,5 pada skala Richter di Sulawesi Tengah.

Menurut JPL, gempa di Palu bergerak dalam kecepatan stabil, yakni 14.760 km per jam, dengan getaran terbesar terjadi selama satu menit.

Gempa bumi biasanya terjadi dalam kecepatan antara 9.000 hingga 10.800 km per jam.

Ilmuwan menemukan, dua sisi dari sesar sepanjang 150 kilometer itu bergeser sepanjang lima meter - jumlah yang menurut ilmuwan sangat besar.

"Memahami bagaimana sesar bergerak pada gempa bumi besar bisa membantu menyempurnakan pemodelan bahaya seismik dan desain bangunan serta infrastruktur lainnya agar bisa menahan gempa bumi di masa depan," kata salah satu penulis studi, Eric Fielding, ilmuwan JPL.

Baca: LTSHE Bawa Terang pada Malam di Petobo

Sesar yang retak menciptakan ragam jenis gelombang di tanah, termasuk gelombang geser yang menyebar dengan kecepatan 12.700 km per jam.

Dalam gempa berkecepatan tinggi seperti di Palu, retakan yang bergerak cepat menyalip gelombang geser yang lebih lambat dan menciptakan efek domino yang menghasilkan gelombang seismik yang lebih mematikan.

"Getaran yang intensif serupa seperti dentuman sonik pada pesawat jet," kata Lingsen Meng, seorang profesor di University of California dan salah satu penulis studi.

Niswati duduk meratapi rumahnya yang hanya tinggal terlihat dinding atas dan atapnya saja di kawasan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (11/10/2018). (Tribun Jakarta/Elga Hikari Putra)

Ilmuwan terkejut oleh kecepatan gempa di Palu yang sangat konstan, mengingat bentuk sesar di Sulawesi Tengah sendiri.

Selama ini ilmuwan meyakini gempa bumi berkecepatan tinggi alias supershear hanya terjadi pada sesar yang berbentuk lurus sehingga tidak menciptakan banyak rintangan bagi pergerakan gempa bumi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini