Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Terdakwa kasus suap perizinan proyek Meikarta, Billy Sindoro menegaskan ia tidak pernah menyuruh terdakwa Fitradjaja Purnama, Henry Jasmen dan Taryudi untuk memberi uang suap kepada sejumlah ASN di Pemkab Bekasi, untuk memuluskan perizinan proyek tersebut.
"Saya sempat katakan ke Fitradjaja, Henry dan Taryudi. Jika ada biaya legal, resmi, ada tanda terimanya silakan tagih ke Meikarta, pasti tanggung jawab," ujar Billy di sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, Rabu (13/2/2019) malam.
Sidang berakhir tepat pada pukul 00.00 dan dilanjutkan Kamis (14/2/2019) siang.
Sebagai orang yang pernah tersangkut kasus suap dengan KPK, Billy mengaku juga mewanti-wanti ketiga terdakwa lainya untuk tidak memberikan uang suap.
"Saya ingatkan mereka urusan sama aparat, jangan kasih uang nanti bisa kena operasi tangkap tangan (OTT), bapak-bapak bisa kena OTT. Saya pernah mengingatkan," kata Billy.
Billy juga menerangkan bahwa ia meminta ketiga terdakwa lainnya yang mengurus perizinan, untuk melaporkan setiap ASN di Pemkab Bekasi yang meminta uang.
"Saya ingatkan juga kepada mereka kalau ada yang minta uang, laporkan ke ibu bupati," ujar Billy.
Baca: Pengakuan Terdakwa Kasus Perizinan Meikarta: Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi Minta Uang Rp 3,5 M
Menurutnya, tidak ada hubungan hirarkis antara dirinya dengan ketiga terdakwa, meskipun di luar, ketiga terdakwa ini menganggap Billy sebagai atasannya dengan menyebut Billy sebagai babe, santa dan sejenisnya.
"Saya mengenal Henry Jasmen sudah lama sekali dan Pak Fitradjaja, dikenalkan oleh Pak Henry. Bagi saya, Pak Fitradjaja ini orang pintar, kamus berjalan. Jadi saya sering berkomunikasi, kalaupun terkait Meikarta, Pak Fitradjaja tidak pernah meminta tagihan ke saya," ujar Billy.
Dalam kesaksian Fitradjaja, ia mengaku tidak pernah menawarkan atau menjanjikan uang kepada sejumlah ASN di sejumlah dinas di Pemkab Bekasi, untuk memuluskan perizinan.
"Tidak, tapi ada beberapa dinas yang meminta uang dengan menyebutkan nominal ada juga yang tidak sebut nominal. Tapi yang pasti mereka selalu minta terus-menerus, salah satunya Jamaludin dan Neneng Rahmi (Kepala dan Kabid di Dinas Tata Ruang). Selalu menagih," ujar Fitradjaja.
Baca: Komjen Pol Arief Sulistyanto, Tanpa Beban Pecat 13 Taruna Akpol di Antaranya 2 Putra Jenderal
Fitradjaja berkisah, Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi Jamaludin meminta uang Rp 3,5 miliar terkait perizinan di Dinas PUPR.
Termasuk dari Neneng Rahmi selaku Kabid Tata Ruang Dinas PUPR.
Kepala Bidang Bangunan Umum Dinas PUPR Bekasi Tina Kartini juga turut meminta.
Termasuk juga permintaan uang dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemkab Bekasi senilai Rp 500 juta, namun diakui Fitradjaja, itu terealisasi Rp 350 juta.
"Saran dari Pak Henry Jasmen, sampaikan saja. Akhirnya saya sampaikan ke Pak Billy. Ada dinas yang minta uang dan ada yang tidak. Pak Billy bertanya untuk dinas yang tidak minta uang dikasih berapa, saya bilang tidak tahu. Pak Billy menjawab, nanti bikin bobot saja. Lalu saya bikin indeks bobot pekerjaan dinas-nya yang paling berat hingga paling ringan dari 4 hingga 1," ujar Fitradjaja.
Dia pun membuat bobot. Bobot indeks nilai 4 yakni Dinas PUPR dan BPMPTSP, 3 Dinas Lingkungan Hidup, 2 Dinas Perhubungan dan Damkar serta 1 Dinas Permukiman.
"Semua indeks itu jadi dasar untuk pemberian uang. Tapi saya tidak tahu teknis penyiapan dan sumber uang itu darimana dan bagaimana karena saya tidak pernah memegang uang itu," ujar Fitradjaja.
Fitradjaja berprofesi sebagai konsultan land development, ia mendirikan perusahaan bernama Masterland.
Ia juga sempat mencalonkan diri sebagai calon wali kota pada Pilkada Kota Surabaya di 2013.
"Sedari awal saya tidak membayangkan akan ada permintaan-permintaan uang dari dinas di Pemkab Bekasi. Bahkan, yang awalnya tidak sebut nominal, ujung-ujungnya minta. Semuanya minta, tidak ada yang tidak minta uang. Hanya saja, saya tidak menolak atau tidak menyetujui setiap permintaan uang itu," kata Fitradjaja.
Bahkan, ia menyebut, seringkali saat perizinan selesai yang dituangkan dalam kertas berupa surat keputusan atau surat izin, kerap kali surat itu ditahan.
"Sering kali saya alami, proses perizinan selesai tapi suratnya ditahan padahal sudah diteken. Akhirnya bisa keluar setelah ada uang," ujar Fitradjaja.
Fitradjaja menegaskan, urusan uang selalu ia komunikasikan dengan Billy Sindoro, Christopher Mailool dan Henry Jasmen. (men)