Maka, ujar dirinya, petani akan ada tambahan biaya sewa lahan Rp 4 juta untuk 1 tanam. Sehingga total biaya dalam sekali tanam bisa mencapai Rp 12 juta.
“Kalau hasil panen hanya 3 ton dengan harga Rp. 4.300 per kilogram ditingkat gudang. Sehingga setelah dikurangi potongan kadar air dan lainnya sekitar Rp. 3,300 perkilogram. Maka hasilnya kan hanya sekitar Rp 9 juta. Kita masih rugi,” kata Samsul.
Para petani sendiri tidak dapat berbuat banyak dengan kondisi keadaan yang ada.
Karena jika mereka menggunakan sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air tanam jagungnya, maka biaya yang harus dikeluarkan akan jauh lebih mahal lagi.
Joko menambahkan, kondisi yang dihadapi petani memang kerap dilematik.
Pada saat musim tanam rendeng (penghujan) biasanya hasil panen jagung akan sangat baik. Namun biasanya harga jagung akan turun jauh.
“Ini kondisi yang kita hadapi. Saat panen baik di musim rendeng, biasanya harga jatuh hingga ditingkat petani tinggal Rp. 2.000 perkilogram. Bahkan dibawah itu. Tetapi saat kemarau, biasanya produksi menurun. Tetapi harga bagus,” kata dia.
Kondisi yang sama juga dialami oleh para petani jagung di kecamatan Bakauheni, Ketapang dan Kalianda. Musim kemarau ini membuat hasil panen mereka turun drastis.
Tumpang Sari
Tantangan pertanian saat ini adalah adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.
Tentunya Pemerintah harus tetap mencari solusi atas tantangan tersebut, salah satunya adalah melalui program Tumpangsari Tanaman.
Tumpangsari sebagai pola tanam yang dapat meminimalisir persaingan lahan. Dalam satu hamparan lahan dapat ditanam untuk lebih dari satu komoditas.
Tumpangsari adalah bentuk pola tanam yang membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman dalam satuan waktu tertentu.
Tumpangsari ini merupakan suatu upaya dari program intensifikasi pertanian dengan tujuan untuk memperoleh hasil produksi yang optimal, dan menjaga kesuburan tanah.