News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Potret Pilu di Hari Guru Nasional, Penghasilan Rendah Rp 85 Ribu hingga Saat Malam Rela Jadi 'Hantu'

Penulis: garudea prabawati
Editor: Miftah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Musri guru honorer SDN 105364 Desa Lubuk Rotan, Kecamatan Perbaungan, Serdangbedagai mendapat penghargaan pada Hari Guru, Senin, (25/11/2019). (Kiri) Musri saat beraksi menjadi hantu. Sosoknya ketika jadi hantu.

TRIBUNNEWS.COM - Peringatan Hari Guru Nasional masih dibayangi dengan potret pilu sebagian guru yang belum merasakan upah yang layak.

Masih ada guru yang yang sampai dengan saat ini rela mengajar walau upah hanya ratusan ribu rupiah bahkan puluhan ribu rupiah.

Berikut kisah para guru yang masih berpenghasilan rendah, yang dirangkum Tribunnews.com dari berbagai sumber:

1. Kisah Musri Guru Honorer yang Berpenghasilan Rendah, Pagi Mengajar, Malam jadi Hantu Jadi-jadian

Kisah pilu datang dari seorang guru honorer di Sumatera Utara (Sumut) bernama Musri (46).

Dengan penghasilan Demi memenuhi kebutuhan hidupnya guru honorer di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, harus rela menjalani dua profesi yang berbeda.

Jika siang dia memberikan pendidikan untuk murid-murid di SD Negeri 105364 di Desa Lubuk Rotan, Kecamatan Perbaungan, maka malam dia harus nyambi sebagai penyanyi 'hantu' organ tunggal.

Guru honorer di Sumut, Musri (46) mengaku hanya dibayar Rp 700 ribu sebulan setiap tiga bulan sekali.

Penghasilannya yang terbatas meski sudah melakoni profesi sebagai guru selama 20 tahun, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, Musri rela menjadi hantu jadi-jadian.

Sepuluh tahun belakangan ini dia rela berperan sebagai hantu penghibur dalam rombongan keyboard (organ tunggal) yang sering diundang pada pesta khitanan atau pernikahan di kampung-kampung.

Baca: Ekspresi Muhadjir Effendy saat Nadiem Makarim Sampaikan Pidato dalam Upacara Hari Guru Nasional 2019

Baca: 7 Film Indonesia tentang Perjuangan Guru, Cocok Ditonton di Momen Hari Guru Nasional

Di Kabupaten Serdangbedagai, hiburan ini sering dikenal sebagai Keyboard Mak Lampir.

"Gaji cuma Rp 700 ribu per bulan, ya harus pintar-pintarlah cari tambahan. Job-nya itulah, jadi sundel bolong atau pocong."

"Nge-job-nya sama kawan-kawan dan sebulan minimal bisa tampil empat sampai enam kali."

"Sekali tampil bisa bergaji Rp100 ribu sampai Rp 125 ribu per orang tergantung jauh dekatnya lokasi acara," kata Musri Senin, (25/11/2019).

Musri yang mengaku merias diri sendiri untuk keperluan manggung ini telah menghibur bersama kelompoknya sampai ke Balam Pekanbaru.

Ia mengaku tidak malu melakoni pekerjaan itu.

Meski terkadang merasa profesinya sebagai guru sangat jauh dari pekerjaan sebagai penghibur Keyboard Mak Lampir, namun demi sesuap nasi ia siap untuk melakukannya.

Musri yang tinggal di Desa Kesatuan, Kecamatan Perbaungan, ini juga merasa pekerjaan sampingannya ini berguna karena dapat menghibur orang lain.

"Terkadang saya pun ikut nyanyi di keyboard. Tapi jaranglah karena lebih banyak job jadi hantu.

Walaupun pulang jadi hantu malam tapi saya usahakan jangan sampai mengganggu kerjaan jadi guru.

Menurutnya Job jadi hantu itu biasa dilakoni pada hari Sabtu dan Minggu.

Namun kalau tidak ada job jadi hantu bisa juga jadi badut.

"Lumayan juga bisa dapat Rp150 ribu sekali manggung."

"Aku enggak mencuri jadi enggak perlu malu karena aku menganggap apa yang kulakukan ini hanya sebatas menghibur dan membuat orang ketawa saja," kata Musri.

Musri guru honorer SDN 105364 Desa Lubuk Rotan, Kecamatan Perbaungan, Serdangbedagai mendapat penghargaan pada Hari Guru, Senin, (25/11/2019). (Kiri) Musri saat beraksi menjadi hantu. Sosoknya ketika jadi hantu.

Musri mengaku belum tahu sampai kapan pekerjaan sebagai penghibur akan ia jalani. 

Bapak satu orang anak ini menyebut selama ini atasan ataupun rekan-rekannya sesama guru di sekolah tidak pernah mempermasalahkan pekerjaannya sebagai penghibur.

Atasan dan rekan sesama guru memaklumi karena sama-sama tahu gaji yang didapat sebagai guru sangat kecil.

Meski pekerjaan ini masih terasa asing bagi sebagian orang, namun ia menyebut anak muridnya ataupun walimurid sudah menerima.

Bahkan mereka sering bertanya apakah ada pekerjaan manggung untuknya atau tidak. 

Keluarga juga tidak pernah mempersoalkan.

"Saya dan istri sudah lama pisah. Kalau anak saya ada satu, tapi dia ikut dengan mamaknya di Medan," katanya.

Pada Hari Guru ini Musri berharap agar pemerintah bisa lebih memperhatikan kesejahteraan guru honorer.

Ia menyebut sempat mencoba seleksi K II dan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (P3K,) namun pada saat itu ia belum beruntung.

Baca: Hari Guru Nasional: 7 Pahlawan yang juga Seorang Guru, dari Ki Hajar Dewantara hingga Kartini

2. Guru Honorer Jalan Kaki 3 Kilometer (Km) ke Sekolah, Gaji Rp 85 Ribu

KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Hanya Digaji Rp 85 Ribu Per Bulan, Guru Honorer di Pedalaman Flores NTT: Bagi Kami, Masa Depan Anak-anak Jadi Hal Utama ()

Dilansir oleh Tribunnews, para guru honorer yang mengabdi di pedalaman Flores yang terisolasi hanya digaji sebanyak Rp85.000 per bulan.

Salah satu guru, Maria Beta Nona Vin mengungkapkan perjuangannya.

"Itu uang Rp 85.000 juga kadang-kadang mandek sampai 3 bulan,” cerita Beti, sapaan akrab guru ini.

“Itu uang kan dari orang tua siswa. Jadi, kita tunggu kapan mereka bayar baru kita terima honor.”

Dirinya menceritakan kalau saat upah tersebut tak terbayar, maka dirinya harus mengandalkan ubi yang ditanamnya sendiri.

Beti memang menanam ubi yang diandalkannya jika tak mampu membeli beras.

Jarak rumah hingga ke sekolahnya pun mencapai 3 kilometer dan Beti menempuhnya dengan berjalan kaki.

Tak hanya itu, dirinya juga harus berjuang terisolasi dari listrik dan telepon.

"Di rumah kami pakai lampu pelita. Kalau malam kerja perangkat pembelajaran, kami andalkan lampu pelita saja. Susah sekali sebenarnya, tetapi karena sudah terbiasa, jadinya nyaman juga. Untuk yang punya hanphone itu harus pergi cas di orang yang ada mesin generator," tutur Beti.

Sinyal pun hanya bisa didapat bila berjalan kaki sejauh 3 kilometer lagi.

Dengan gaji seadanya, Beti tinggal di rumah sederhana dengan alas tikar belahan bambu.

Meski harus hidup dengan segala keterbatasan, Beti mengaku tetap semangat mengajar di sekolah tersebut.

"Capek sebenarnya, tetapi berpikir, pasti ada hikmah di balik perjuangan ini," ungkap Beti.

Ia berharap, ke depan pemerintah bisa menyambung jaringan listrik dan telepon ke Desa Watu Diran, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, alamat SMPN 3 Waigete.

Pantauan Kompas.com, Beti tinggal di rumah yang sangat sederhana, beratapkan alang-alang, dinding belahan bambu, dan lantai tanah.  

Baca: Viral Pidato Nadiem Makarim Soal Hari Guru Nasional, Dian Sastro Turut Soroti & Beri Pujian Ini

Kamar istirahatnya juga sangat sederhana, hanya beralaskan tikar di atas belahan bambu.

Pakaian juga digantung tanpa lemari. Begitu pula dengan buku-buku.  

Alat masak Beti juga masih menggunakan tungku tradisonal dari batu.

Untuk memasak, ia menggunakan kayu api yang didapatkan dari kebun.

Beti juga terkadang menumbuk padi untuk menjadi beras. Di tempat itu memang tidak ada penggiling padi.  

Di tengah keterbatasan uang dan fasilitas, serta tidak adanya saluran informasi, Beti tetap bertahan untuk mengabdi di SMPN 3 Waigete, Desa Watu Diran, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka.

Beberapa berita di atas mengungkap bahwa begitu kelam sejumlah potret guru honorer di Indonesia.

3. Guru Honorer tinggal di Toilet Sekolah, Gaji Hanya Rp 350 Ribu

Bu Nining, guru honorer di SDN Karyabuana 3 di Desa Karyabuana, menunjukkan isi rumahnya yang menempati bagian toilet sekolah SDN Karyabuana 3, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten, Senin (15/7/2019). (KOMPAS.com/ ACEP NAZMUDIN)

Nining Suryani (44), seorang guru honorer sebuah sekolah dasar, menjadi salah satu contoh kurangnya kesejahteraan untuk guru honorer.

Nining Suryani sebagai guru honorer di SDN Karyabuana 3 Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten, ini terpaksa harus tinggal di dalam toilet sekolah lantaran tidak punya rumah.

Nining mengaku, gajinya sebesar Rp 350 Ribu tidak cukup untuk menyewa rumah.

Jadilah ia sebagai guru honorer yang tinggal di toilet walaupun sudah mengajar di sekolah tersebut selama 15 tahun.

Ibu dua anak ini punya alasan khusus mengapa tetap bertahan sebagai guru honorer kendati gajinya kecil.

Nining berharap untuk diangkat menjadi PNS dan mendapat penghasilan yang sesuai dengan pengabdiannya.

"Kalau nggak diangkat juga enggak apa-apa, setidaknya ada kebijakan dari pemerintah berapa kenaikan per bulan. Mau kecil mau besar, saya ikhlas terima," kata Nining saat ditemui di SDN Karyabuana 3, Kecamatan Cigeulis, Senin (15/7/2019).

Namun tahun demi tahun mengajar, status Nining belum naik juga.

Berbagai upaya sudah dia lakukan, termasuk kuliah lagi untuk mendapatkan gelar sarjana.

Nining sempat merasa putus asa dan menyerah.

Apalagi usianya saat ini sudah melebihi batas ambang persyaratan menjadi PNS.

"Anak saya yang kedua sekarang masih sekolah di pesantren, tiap bulan butuh biaya," kata dia.

Sebelum tinggal di toilet sekolah, Nining tadinya tinggal di sebuah rumah petak di dekat sekolah.

Namun dua tahun lalu, rumah tersebut roboh lantaran sudah lapuk.

Tidak ada pilihan lain, bersama suaminya, Ebi Suhaebi (46), dia mengisi ruangan toilet di SDN Karyabuana 3 yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.

Baca: 7 Kisah Inspiratif Guru, Lewati Medan di Pedalaman Papua hingga seorang Guru Tidur di Toilet Sekolah

Guru honorer di Banten tinggal di toilet sekolah, gaji tiap bulan kecil tak sanggup sewa rumah (Acep Nazmudin/Kompas.com)

Tempat tersebut dia jadikan tempat tinggal sejak dua tahun lalu.

Nining mengaku tidak bisa menyewa rumah dengan kondisi keuangan yang minim.

Sementara suaminya hanya berkerja serabutan dengan penghasilan tidak menentu.

Pihak sekolah tadinya sempat melarang, namun akhirnya mengizinkan lantaran tidak ada lagi tempat tinggal untuk Nining dan keluarganya.

"Kepala sekolah bantu beliin kayu, saya dan suami yang bangun, alhamdulillah bisa nyaman tinggal di sini," ujar dia.

(Tribunnews.com/Garudea Prabawati) (Tribunnewswiki.com/Dinar Fitra Maghiszha) (dra/tribun-medan.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini