Sehingga tidak bisa jika menyebut pencalonan keduanya sebagai nepotisme.
"Pada masa orde baru ada sebutan nepotisme, tapi nepotisme untuk tinjauan aspek ekonomi," katanya.
"Proses politik pada masa lalu berbeda dengan sekarang," lanjut Nusyirwan.
Alasan dari bantahan Nusyirwan itu karena Jokowi bukanlah petahana di Solo ataupun di Medan.
Sehingga menurutnya, tidak ada konflik kepentingan mengenai langkah politik Gibran dan Bobby tersebut.
"Itu bagian daripada hak konstitusi ya, keterkaitan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh ada conflict of interest (konflik kepentingan) kepada petahana," katanya.
"Petahana di daerah tersebut berkaitan atau tidak?, kami tidak melihat itu," jelas Nusyirwan.
Senada dengan Nusyirwan, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menyebut pengertian dari definisi nepotisme adalah memilih seseorang tidak berdasarkan kemampuannya.
"Tergantung definisi nepotisme itu apa, salah satu definisi yang diterima secara umum adalah memilih di luar kemampuannya," ujar Qodari di Studio Menara Kompas, Rabu (4/12/2019), dikutip dari YouTube KompasTV.
"Sebetulnya nepotisme ini kelihatan kepada jabatan yang ditunjuk," lanjutnya.
Sehingga menurutnya, tidak pas jika menyebut Gibran dan Bobby maju dalam pilkada 2020 adalah nepotisme.
Karena pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
"Sebenarnya sulit untuk mengatakan ini nepotisme untuk jabatan yang sifatnya dipilih," ujarnya.
"Karena di situ prosesnya dimana orang memilih, punya kesempatan memilih," jelas Qodari.
Direktur Eksekutif Indo Barometer ini menyebut, langkah dari Gibran dan Bobby itu memang tidak dilarang dalam Undang-undang.
"Kalau kita kembalikan pada Undang-undang, ya tidak ada halangan bagi anak presiden menjadi calon wali kota," kata Qodari.
"Kecuali ada larangan hitam di atas putih, tentu kita katakan tidak boleh," jelasnya.
(Tribunnews.com/Nuryanti)