TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah akan menyelenggarakan Natal Nasional. Acara bertajuk Persahabatan dalam Kerukunan Nasional itu akan dilaksanakan di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/12/2019).
Juliari Batubara selaku Ketua Panitia Natal mengkonfirmasi bahwa Perayaan Natal akan dihadiri oleh Presiden Jokowi, sejumlah Menteri, petinggi dan pejabat negara, serta tokoh-tokoh nasional lainnya.
Pada Natal Nasional ini diperkirakan akan hadir umat Kristen sebanyak 10 ribu orang.
Ketua GAMKI Jawa Barat, Theo Cosner menyesalkan sikap pemerintah yang menjunjung tinggi toleransi dan keberagaman, namun di sisi lain masih membiarkan adanya tindakan-tindakan diskriminatif dari pemerintah daerah, serta ormas/oknum intoleran.
Pernyataan ini disampaikan Theo melalui siaran pers pada Jumat (20/12/2019).
Baca: Jokowi Akan Hadiri Perayaan Natal Nasional 2019 di Sentul
Merujuk pada riset Setara Institute, mengungkapkan ada 629 jumlah pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat selama 12 tahun terakhir dan lebih dirinci lagi oleh Setara Institute selama lima tahun terakhir, yakni 2014-2019, total pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat sebanyak 162 pelanggaran.
Theo mengingatkan, beberapa bulan lalu setelah terpilih untuk kedua kalinya, Presiden telah menyampaikan bahwa salah satu prioritas beliau adalah menyelesaikan persoalan intoleransi.
"Kami yakin dengan komitmen beliau untuk memberantas persoalan intoleransi dan diskriminasi. Namun, apakah bawahan dan pembantu Presiden, antara lain menteri dan jajaran di bawahnya, aparat kepolisian, serta pemerintah daerah juga memiliki komitmen yang sama?" ujarnya.
Dia khawatir jangan-jangan Presiden tidak mendapat informasi yang seutuhnya bahwa masih ada persoalan diskriminatif yang terjadi di berbagai daerah seperti pelarangan perayaan ibadah Natal, pelarangan pembangunan rumah ibadah, ataupun persekusi terhadap tokoh agama.
"Presiden akan menghadiri Natal Nasional, tapi bagaimana dengan umat Kristen di tempat lainnya yang dilarang melaksanakan ibadah Natal?" katanya.
Dia berharap semua pihak berani jujur bahwa hari ini peningkatan kasus intoleransi semakin marak terjadi.
"Padahal bagi setiap warga negara, yang paling penting adalah bisa beribadah ataupun merayakan hari besar keagamaan di rumah ibadah masing-masing, dengan aman tanpa kuatir akan diganggu dan ditolak oleh pihak manapun," katanya.
Jika pemerintah tetap melaksanakan Natal Nasional, sebagai simbol dan bentuk perhatian secara seremonial bahwa Negara menjunjung tinggi kemajemukan agama di Indonesia, pihaknya mengharapkan pemerintah bisa juga memberikan perhatian secara substansial yakni menyelesaikan terlebih dulu masalah penolakan pembangunan rumah ibadah, ataupun pelarangan ibadah Natal yang ada di berbagai daerah. '
"Hal itu yang lebih utama dan penting ketimbang melaksanakan perayaan seremonial, karena berkaitan dengan hak asasi setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing," katanya.