Sementara, para wanita membawa air itu menampungnya dalam tempayan (klenting) dan kemudian digendong.
Ada sebagian warga yang mengangkut air tersebut dengan mengendarai sepeda motor namun hanya kalangan terbatas karena banyak warga tak memiliki sepeda motor.
Dengan air yang terbatas itu, warga pun harus pandai mengatur penggunaan air agar kebutuhan pokok seperti minum, masak dan mandi tetap terpenuhi.
Keadaan semakin parah saat sumber air di Bayanan tak selalu mengalir.
“Sayangnya, sumber air Bayanan ini sering kehabisan air saat musim kemarau,” ujar Suyadi.
Warga sebenarnya berusaha mengantisipasi kekeringan dengan menampung air hujan ketika musim hujan.
Air hujan ditampung dalam bak tampung yang dimiliki masing-masing warga.
Namun, selain terbatas hanya untuk mencuci dan mandi, air hujan tampungan itu tetap saja tak bisa mencukupi kebutuhan warga.
Ketika memasuki bulan Agustus, kekeringan tak terhindarkan.
Sejumlah warga yang memiliki kemampuan ekonomi lebih terpaksa membeli air tangki.
Tentu saja tak semua orang mampu membeli air tangki yang harganya Rp 200 ribu per tangki.
Kekeringan yang hampir selalu menjadi langganan warga Desa Pucung ini akhirnya bisa diputus pada tahun 2013 saat warga berhasil mengangkat air dari sebuah gua yang bernama Gua Suruh.
Gua ini berada di belakang Desa Pucung dengan jarak sekitar 500 m.
Dari dasar gua sedalam 44 meter ini, air didorong melalui pipa ke mulut gua dengan menggunakan dua pompa berkapasitas sedot 3.000 liter per jam.