TRIBUNNEWS.COM - Sungguh ironis nasib seseorang perempuan bernama Febi Nur Amelia (29).
Warga kompleks Menteng Indah, Medan, Sumatera Utara itu harus duduk di kursi pesakitan karena menagih hutang.
Febi didakwa melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik saat menagih utang.
Dakwaan ini bermula saat Febi menagih utang sebesar Rp 70 juta pada sosok yang dipanggilnya 'Ibu Kombes' lewat fitur Instagram Stories-nya.
Pemilik akun @feby2502 akhirnya menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (7/1/2020) lalu.
Lantas, bagaimana etika menagih utang yang benar agar tak bernasib seperti Febi?
Menurut Ahli Hukum Bisnis, Muhammad Rustamaji, ada mekanisme sendiri dalam penagihan hutang sesuai hukum perdata.
"Mekanisme penagihan utang sesuai dengan hukum perdata, mekanismenya harus private," ujar pria yang karib disapa Aji kepada Tribunnews.com, Minggu (12/1/2020).
Aji mengatakan, cara dan jalur penagihan bisa dilakukan secara baik-baik, misalnya dengan menyurati atau menghubungi langsung secara pribadi.
Aji yang juga menjadi Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS menyebut kesalahan yang dilakukan Febi.
Menurutnya, jika sudah menyebarluaskan informasi ke media sosial, maka orang yang tidak berkepentingan bisa mengakses hal itu.
"Itu yang menjadi poin kesalahannya, penagihan utang harus didatangi, harus disurati."
"Kalau berujung tidak mau bayar karena tidak mau walau mampu, baru bisa dilakukan gugatan perdata," tutur Aji.
Aji juga menyarankan, bila peminjam utang memberikan jaminan aset, maka bisa menjadi payung hukum.
"Kalau misal pegang aset, diberi peringatan saya jual aset ini untuk melunasi utang."
"Kalau tidak merespons nanti diberi pemberitahuan lagi agar bisa menjadi payung hukum," tuturnya kepada Tribunnews.com melalui sambungan telepon.
Aji juga menyayangkan bila orang yang meminjamkan utang tidak memegang aset dari si peminjam, ia akan kerepotan karena tidak memiliki jaminan.
Di dalam rambu-rambu hukum, lanjut Aji, praktik meminjamkan uang dengan menarik keuntungan dilarang dalam UU Perbankan.
Masih kata Aji, meminjam utang bisa dilakukan walau hanya berdasarkan kesepakatan secara lisan.
"Memberikan utang kepada orang lain berapa pun jumlahnya harus ada kesepakatan walaupun lisan. Yang penting orang yang memberi utang tidak menarik keuntungan," tegas Aji.
Lantas, apa saja yang bisa dijadikan dasar hukum untuk menggugat terkait kasus utang-piutang?
"Ranah penagihan itu privat meski orang yang meminjam sangat menjengkelkan."
"Namun, orang yang emberi hutang memiliki bukti yang disimpan, ia pernah mentransfer ke rekening peminjam."
"Hal ini bisa menjadi bahan hukum jika ingin dimasukkan dalam gugatan," ujarnya.
Dalam kasus Febi, Aji mengatakan, perempuan berusia 29 tahun itu bisa melaporkan balik terkait kasusnya baik secara perdata maupun pidana.
"Kalau ranahnya perdata, namanya gugatan perdata untuk pembayaran utang."
"Kalau merasa ditipu karena tidak bisa membayar, bisa masuk ke ranah pidana," tegas Aji.
Menurut Aji, jika masuk dalam ranah pidana, pelapor bisa ke kepolisian untuk dimintai keterangan.
Keterangan itu terkait pasal yang akan disangkakan, apakah penipuan atau penggelapan.
"Biasanya dua pasal itu yang digunakan untuk orang yang menghindar dari kewajiban membayar utang."
"Untuk gugatan perdata yang disasar uangnya kembali, sedangkan pidana yang disasar memenjarakan orang yang utang," tambah Aji.
(Tribunnews.com/Inza Maliana)