TRIBUNNEWS.COM, MAMASA - Kasus pemerkosaan anak di bawah umur di Kecamatan Tawalian, Kabupaten Mamasa, Sulbar, telah dalam penanganan pihak kepolsian.
Meski sudah dalam ranah pihak berwajib dan sudah dijadikan tersangka, namun kasus ini dianggap tabu bagi adat dan kebiasaan masyatakat setempat.
Dengan demikian, kasus ini masih akan ditangani oleh pihak tokoh adat di wilayah tempat kejadian itu.
Pasalnya, korban yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP dan berumur 17 tahun, menjadi korban pemerkosaan ayah, kakak dan sepupunya sendiri.
Perlakuan itu dialami korban sejak masih SD tahun 2016 hingga tahun 2020.
Menanggapi kasus ini, Ketua Lembaga Adat Kabupaten Mamasa, Benyamin Matasak mengatakan, pihaknya telah menyurat kepada lembaga adat di Kecamatan Tawalian.
"Kita serahkan dulu ke lembaga adat tingkat kecamatan," ungkap Benyamin Matasak, Rabu (29/1/2020) siang tadi.
Alasannya, kata dia, setiap wilayah keadatan di Mamasa, masing-masing memiliki kebiasaan.
"Jadi tadi pagi saya sudah layangkan surat ke lembaga adat tingkat kecamatan," tuturnya.
Surat itu, lanjut dia, ditembuskan ke Bupati Mamasa, Kapolres, Kajari.
Walaupun kasus itu sudah ditangan penegak hukum, namun dikatakan, lembaga adat tetap menjalankan fungsinya, dalam hal pembersihan kampung.
Sebab perbuatan itu dianggap sangat merusak tatanan masyarakat di sekitarnya.
Menurut Benyamin, pada umumnya sesuai kebiasaan orang Mamasa, tokoh adat membersihkan kampung.
Adapun teknisnya yaitu "Diparraukan" dalam artian tokoh adat menunjuk satu ekor kerbau untuk disembelih.
Kerbau yang disembelih ditanggung oleh pelaku atau tokasalaan (orang yang bersalah).
"Sembarang kerbaunya orang ditombak baru dia ganti," jelas Benyamin Matasak.
Selain itu, ada satu lagi kebiasaan menurut dia, yakni "disapu bulu".
Pada kebiasaan ini, pelaku dibakar dengan balutan bulu induk lalu diceburkan ke sungai.
"Kebiasaan ini manusiawi karena saat dilakukan pelaku berada di pinggir sungai, saat api menyala dia melompat," katanya.
Kebiasaan ini menandakan bahwa pelaku mengakui kesalahan dan bersedia diberi sanksi moral.
Kata dia, hukuman itu sebagai hukum moral bagi pelaku yang bertentangan dengan hukum adat.
Tujuannya agar generasi muda tidak melakukan hal yang sama.
Namun untuk kasus pencabulan di Kecamatan Tawalian, Benyamin Matasak mengaku masih menunggu respon dari pihak adat di tawalian.
Lebih jauh ia jelaskan, penting untuk dibicarakan soal sanksi yang akan diberikan kepada pelaku, melihat kondisi ekonomi pelaku.
"Jangan sampai diberi sanksi tetapi tidak sesuai dengan kemampuan ekonominya," ujarnya lagi.
Namun proseda ini kata dia, tidak akan menghentikan proses hukum yang berlaku di Indonesia.
Artikel ini telah tayang di tribun-timur.com dengan judul Siswi SMP di Mamasa Diperkosa Ayah, Kakak, dan Sepupu, Hukum Adatnya Ngeri, https://makassar.tribunnews.com/2020/01/29/siswi-smp-di-mamasa-diperkosa-ayah-kakak-dan-sepupu-hukum-adatnya-ngeri?page=all.