TRIBUNNEWS.COM - Media sosial Twitter diramaikan dengan sebuah thread atau utas cerita seorang warganet yang baru saja kehilangan anggota keluarga.
Sang ayah dari warganet tersebut meninggal dunia karena gagal jantung.
Namun, keluarga menyesalkan KTP almarhum justru tersebar di media sosial dan dicap sebagai pasien positif Covid-19 atau virus corona.
Diduga, KTP dan informasi salah tentang penyakit almarhum pertama kali disebar oleh oknum pegawai rumah sakit.
Unggahan tersebut diposting oleh satu akun Twitter pada Jumat (3/4/2020).
Postingan tersebut hingga berita ini ditulis telah disukai lebih dari 20 ribu pengguna dan dibagikan ulang lebih dari 13 ribu pengguna.
Tribunnews pun berhasil menghubungi sang pengunggah yang berinisial MR.
Baca: Update Corona Indonesia 5 April, Total 2.273 Positif, 164 Sembuh, 198 Meninggal
Kronologi Awal
MR mengungkapkan, sang ayah telah memiliki riwayat penyakit jantung.
Ayah MR diduga mengalami serangan jantung pada Rabu (1/4/2020) malam dan dibawa ke rumah sakit oleh pihak keluarga dan tetangga.
"Dibawa di salah satu rumah sakit di Kota Bandung," ungkap MR saat dihubungi Tribunnews, Minggu (5/4/2020).
Sesampainya di rumah sakit tersebut, baik sang ayah maupun pengantar dicek suhu tubuh dengan termometer tembak atau termal gun.
"Semua orang yang masuk dicek suhu tubuh, termasuk ayah saya yang nafasnya sudah pendek. Suhu tubuh ayah saya 36 derajat, normal," ungkapnya.
Baca: 24 Dokter Gugur Lawan Corona, IDI: Alarm untuk Organisasi Profesi dan Pemerintah
MR menyebut, sang ayah dicek tekanan darah saat masuk IGD hingga diminta untuk mengenakan masker.
Sang ayah saat itu dicek tekanan darah dan diminta untuk mengenakan masker sebagai antisipasi.
"Sekitar jam 11 atau jam 12 malam, ayah saya kembali dicek suhu tubuh, suhu tubuhnya naik menjadi 39,5 derajat," ujarnya.
MR menyebut dokter jaga di RS tersebut menyampaikan jika sang ayah terindikasi Covid-19.
Dokter pun menyampaikan jika sang ayah harus diisolasi.
Setelah itu, seluruh petugas yang menangani sang ayah mengenakan pakaian Alat Pelindung Diri (APD) lengkap.
Sang ayah kemudian menjalani rontgen.
Hasilnya menunjukkan adanya titik-titik putih di dalam paru-paru.
Baca: Andrea Dian Rasakan Efek Samping Obat Chloroquine, Efeknya ke Pernapasan hingga Jantung
Dokter menyebut sang ayah harus dirujuk ke sebuah RS lain di Bandung.
"Kondisi ayah saya sudah sakaratul maut, ibu saya tidak diperbolehkan masuk ruangan, tidak boleh mendampingi ayah saya," ungkap MR.
Saat sang ibu sedang mengurus administrasi perujukan, saat itu sang ayah meninggal dunia.
"Ayah meninggal dunia tanggal 2 April 2020 pukul 03.00 WIB," ungkap MR.
Keluarga pun mengikuti seluruh prosedur RS.
Ibu MR diminta menandatangani surat diagnosis yang menyebut sang ayah gagal jantung dan PDP covid-19.
"Jenazah ayah saya dibungkus dengan selimut, dimasukkan kantong jenazah di dalam ambulans dari jam 4 subuh," ujarnya.
Hingga pukul 09.00 WIB, jenazah sang ayah masih belum diberi tindakan.
"Sampai kakak sepupu saya yang juga seorang dokter melakukan rapat bersama dokter lain dari RS tersebut, melihat riwayat sakit dan hasil rekam medis selama 3 tahun," ujarnya.
Pihak RS pun mengungkapkan kematian sang ayah karena gagal jantung.
Sementara itu, titik-titik putih di paru-paru yang terekam disebut dokter merupakan bakteri-bakteri yang ada karena pompa jantung yang tidak stabil.
Pemulasaran Mendiang
MR sekeluarga mencoba ikhlas dan memberangkatkan sang ayah ke tempat pemakaman keluarga.
MR mengungkapkan prosedur RS mengharuskan petugas hingga sopir ambulans mengenakan baju APD.
Sesampainya di tempat pemakaman keluarga, MR dan keluarga sempat mendapat penolakan dari warga.
Penolakan warga hanya didasarkan petugas medis yang mengenakan APD.
"Setelah debat yang panjang, akhirnya warga menerima dengan syarat memfotokopi surat kematian ayah saya."
"Alhamdulillah ayah saya sudah dimakamkan semua berjalan dengan lancar," ujarnya.
Karena merasa menanggung beban moril dengan stigma masyarakat tentang covid-19, MR dan keluarga berinisiatif untuk kembali ke RS.
Mereka meminta surat keterangan yang menjelaskan, kematian sang ayah bukan karena Covid-19, melainkan gagal jantung.
"Sesampainya di RS, saya bertemu dengan dokter yang menyolatkan jenazah ayah saya tadi."
"Dia menjelaskan secara detail dan rinci. Dia mengusahakan surat keterangan," ujarnya.
Namun, pihak RS belum bisa memberikan surat tersebut saat itu juga.
Pihak RS menyebut surat keterangan bisa didapatkan jika jenazah divisum terlebih dahulu.
Sementara prosesnya memerlukan waktu dua sampai tiga hari.
Pihak keluarga pun memilih untuk tidak melakukan proses tersebut.
Selepas pemulasaran selesai, MR dan keluarga pulang ke rumah.
Ia mendapati rumahnya dalam kondisi basah disemprot disinfektan.
"Gak beberapa lama datang lah petugas medis dari Puskesmas. Mereka survei menanyakan riwayat sakit ayah saya dan riwayatnya apakah ada riwayat ke luar negeri atau tidak," ungkapnya.
Baca: Pakar dari UI Ungkap Perbedaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Social Distancing: Ada Hukum
KTP Almarhum Tersebar
MR menjadi geram setelah ada kabar yang menyebutkan KTP sang ayah disebar dan dicap sebagai pasien positif corona.
MR pun kembali ke RS untuk mengklarifikasi.
"Saya balik lagi ke RS minta pertanggungjawaban kenapa data pribadi bisa sampai ke tangan orang lain dan bisa di-publish ke sosmed," ungkapnya.
Pihak RS pun mengungkapkan tidak bisa membantu mengungkap pelaku penyebaran KTP dengan informasi yang salah.
"KTP ayah saya masih banyak yang dapet kabar hoax-nya, sudah merambah sampai daerah lain," ujarnya.
MR pun melakukan penelusuran mandiri tentang menyebarnya KTP sang ayah dengan informasi yang tidak benar melalui beberapa sumber.
"Menurut kabar yang tersebar di sosial media mengenai KTP ayah saya, ada yang menyebut mendapatkan foto KTP dari salah satu perawat RS," ujarnya.
MR menegaskan, tidak mempermasalahkan prosedur dari RS mengenai sang ayah.
"Yang saya sayangkan cuma kenapa KTP ayah saya bisa kesebar, jadi yang mau saya usut masalah KTP itu," ujar MR.
MR menyebut pihak RS berencana untuk memberikan keterangan padanya.
"Katanya nanti Senin atau Selasa, pihak RS akan mendatangi rumah saya untuk klarifikasi," ungkapnya.
MR pun berharap tidak ada lagi jenazah yang mendapatkan diskriminasi di tengah wabah Covid-19.
"Pesan saya stop diskriminasi orang yang kena wabah, di luar sana mungkin banyak orang yang kena Covid-19, tapi mereka nggak mau ngaku dan takut untuk periksa ke dokter karena diskriminasi masyarakat," ujar MR.
Sikap masyarakat yang mendiskriminasi menurut MR justru bisa memperburuk situasi pandemi Covid-19 di indonesia.
"Saya lihat berita bertebaran warga menolak jenazah-jenazah sampai dilemparin batu. Saya rasa itu tidak pantas," ungkap MR.
(Tribunnews.com/Wahyu Gilang P)