Perlahan, dia meminta material kepada beberapa tetangga dan mengais di tempat pembuangan.
Saat ini, tempat tinggalnya sudah ada tembok setinggi 50 centimeter dan dindingnya dari anyaman bambu.
Tempat tinggalnya yang berukuran 3x6 meter terbagi atas dua sekat, satu untuk dapur dan amben, dan ruang dalam untuk tidur lima orang.
"Awal-awal penerangan di sini hanya senter. Lalu kami menyalur listrik. Tapi dicabut, menyalur lagi, lalu dicabut lagi," jelas Sugiman.
Hingga dia meminta tolong kepada Sugiman dan hingga saat ini telah menikmati aliran listrik.
Dia mengaku, listrik sangat penting karena untuk belajar anak-anaknya.
Selain itu agar terhindar dari binatang.
"Paling sering masuk sini itu ular, saya menangkap yang berukuran besar sebanyak lima kali. Kalau yang kecil-kecil palingan saya halau biar keluar," ungkapnya.
Sugiman mengaku tak memiliki pekerjaan tetap.
"Saya buruh pemetik kelapa, upahnya dua butir untuk satu pohon. Tapi sudah satu bulan ini menganggur karena ada corona," jelasnya.
Sementara istrinya kerja membantu di tetangga dengan upah Rp 300 ribu per bulan.
"Yang paling susah disini itu air karena harus mengambil dengan jalan kaki sekitar 300 meter. Itu sebenarnya tandon warga Nanggulan untuk menyirami tanaman, tapi kami ambil buat keperluan sehari-hari," terang Sugiman.
Dia mengaku belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah.
Padahal, dirinya memiliki seluruh syarat administrasi seperti KTP dan KK.