Wahyuni menuturkan kebanyakan pasangan muda sebenarnya masih ingin nongkrong bersama teman sebaya, namun hal itu terhalang karena mereka sudah menikah.
Ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan membuat potensi KDRT kian besar, sementara perempuan sebagai pihak yang kerap jadi korban berpeluang menyakiti anaknya.
"Sosialnya ya sebetulnya dia masih butuh untuk kumpul-kumpul dengan teman sebayanya. Kalau dia sudah menikahkan kehidupannya akan berbeda. KDRT ini kan bisa jadi kekerasan terhadap anak," ujarnya.
Pasalnya anak tak memiliki kekuasaan sehingga ibu yang tertekan jadi korban KDRT cenderung melampiaskan emosinya kepada anak.
Wahyuni menyebut perempuan yang awalnya korban KDRT dapat gelap mata sehingga dari yang tadinya korban berubah menjadi pelaku kekerasan terhadap anak.
"Semakin jelas bahwa nikah di usia muda menjadi pemicu semuanya, sampai mungkin bisa bermuara pelaku pembunuhan kepada anaknya sendiri. Jadi berawal dari dia jadi korban KDRT dia menjadi pelaku kekerasan terhadap anak," tuturnya.
(TribunJakarta/TribunTimur/Kompas)