Dari situ, Pak Min ditugaskan sebagai mata-mata Indonesia untuk mengawasi gerak-gerik Belanda.
Menurut penuturan Pak Min kepada Thoric, dahulu saat menjajah Indonesia, Belanda juga punya antek-antek yang merupakan orang Indonesia.
Antek-antek tersebut mudah dikenali karena selalu membawa kaca di genggaman tangannya.
"Tugasnya waktu itu, jadi Belanda itu kata beliau juga punya antek-antek orang Indonesia, antek antek itu bawaannya gampang banget."
"Kalau tangannya ada cermin, genggam cermin. Itu fungsinya ngasih kode ke Belanda daerah tersebut kalau sudah dipantulkan sinar dari cermin nanti nggak begitu lama ada pesawat Belanda nge-bom wilayah tersebut."
"Nah ceritanya beliau itu, beliau men-survey kayak gitu," papar Thoric.
Kepada Thoric, Pak Min menceritakan, dulu hampir setiap hari ia melihat mayat tergeletak di pinggir jalan.
"Beliau itu menceritakan, 'dulu itu setiap hari di daerah Donohudan tempatku itu 15-20 orang itu pasti ada mayat-mayat di pinggir jalan'," jelas Thoric menirukan ucapan Pak Min.
Kemudian saat terjadi peristiwa G30S PKI, Pak Min tak ikut berperang karena ia sudah bekerja di Jakarta.
Namun, adanya peristiwa tersebut membawa dampak untuk pekerjaan Pak Min, semua proyeknya terpaksa berhenti dan ia akhirnya memutuskan pulang ke Solo.
"Waktu peristiwa G30S PKI beliau ada di Jakarta, karena resesi kemelut seperti itu akhirnya beliau pulang ke Solo."
Di Solo, Pak Min bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (DPU), namun karena gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat itu kecil, akhirnya ia banting setir ke dunia usaha.
Kemudian, pada tahun 1970an, Pak Min menekuni usaha berjualan lampu semprong.
Karena usahanya itu, ia juga dijuluki Pak Min Semprong.